Ekspansi Sawit dan Ancaman terhadap Tanah Papua: Analisis Kritis Penolakan Masyarakat Adat
Rio de Janeyro, mahasiswa program studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta
GEMARI.ID-PEGUNUNGAN ARFAK. Pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa Indonesia perlu menambah penanaman kelapa sawit Khususnya di Tanah Papua dikhawatirkan akan memperluas deforestasi dan konflik agraria, kata para pegiat lingkungan. Tanah Papua merupakan salah satu wilayah terakhir di Indonesia yang masih memiliki bentang alam hutan tropis yang relatif utuh. Wilayah ini bukan hanya penting secara ekologis, tetapi juga memiliki makna sosial, budaya, dan spiritual yang mendalam bagi masyarakat adat Papua. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, Tanah Papua menghadapi ancaman serius akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit yang terus meluas. Ekspansi ini memicu gelombang penolakan dari masyarakat adat yang merasa ruang hidupnya semakin terdesak.
Penolakan terhadap sawit di Tanah Papua kerap disalahpahami sebagai sikap anti-pembangunan. Padahal, jika dicermati lebih dalam, penolakan tersebut justru merupakan bentuk kritik terhadap model pembangunan yang eksploitatif dan tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan serta hak-hak masyarakat adat.
Ancaman Ekologis yang Nyata
Papua dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia. Hutan Papua menjadi habitat bagi ribuan spesies flora dan fauna endemik, termasuk burung cenderawasih, kasuari, dan kanguru pohon. Ekspansi perkebunan sawit yang bersifat monokultur secara langsung mengancam keberlanjutan ekosistem tersebut. Pembukaan lahan skala besar menyebabkan deforestasi, hilangnya habitat satwa, serta degradasi kualitas tanah dan air.
Di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat, dampak ekologis ini sudah dirasakan secara nyata. Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit menyebabkan menyusutnya hutan adat yang selama ini menjadi sumber pangan, obat-obatan tradisional, dan ruang hidup masyarakat. Satwa liar yang kehilangan habitat mulai memasuki wilayah permukiman, memicu konflik antara manusia dan satwa.
Selain itu, perubahan tutupan hutan menjadi perkebunan sawit berdampak langsung pada sistem hidrologi. Sungai-sungai yang sebelumnya menjadi sumber air bersih masyarakat adat mengalami kekeruhan akibat sedimentasi dan limpasan limbah perkebunan. Dalam jangka panjang, kondisi ini mengancam kesehatan masyarakat dan ketahanan pangan lokal.
Secara kuantitatif, ancaman tersebut juga tercermin dari data deforestasi dan luas konsesi sawit di Tanah Papua. Berbagai kajian berbasis citra satelit menunjukkan bahwa deforestasi di Papua dalam beberapa tahun terakhir mencapai puluhan ribu hektare, dengan sebagian signifikan terjadi di dalam atau sekitar konsesi perkebunan kelapa sawit. Luasan izin dan konsesi sawit di Papua dan Papua Barat diperkirakan mencapai ratusan ribu hingga lebih dari satu juta hektare, di mana sebagian besar berada pada kawasan hutan alam yang sebelumnya relatif utuh. Jika seluruh konsesi ini dikembangkan, maka tekanan terhadap ekosistem hutan Papua akan meningkat secara drastis dan berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis yang sulit dipulihkan.
Hak Masyarakat Adat yang Terpinggirkan
Bagi masyarakat adat Papua, tanah bukan sekadar komoditas ekonomi. Tanah adalah identitas, warisan leluhur, dan ruang spiritual yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Namun, dalam praktiknya, proses pemberian izin perkebunan sawit kerap mengabaikan hak ulayat masyarakat adat. Tidak sedikit izin diterbitkan tanpa proses persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (free, prior, and informed consent / FPIC).
Akibatnya, masyarakat adat kehilangan akses terhadap hutan dan tanah yang selama ini menjadi sumber penghidupan. Di beberapa wilayah, pembukaan lahan sawit memicu konflik antar-marga akibat batas wilayah adat yang diabaikan. Relasi kuasa yang timpang antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat adat semakin memperlemah posisi masyarakat lokal dalam mempertahankan haknya.
Hilangnya tanah adat juga berarti hilangnya ruang pewarisan pengetahuan dan nilai budaya. Generasi muda masyarakat adat semakin terputus dari tradisi pengelolaan alam yang selama ini terbukti menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
Janji Kesejahteraan yang Tidak Terwujud
Ekspansi sawit kerap dibungkus dengan narasi peningkatan kesejahteraan dan penciptaan lapangan kerja. Namun, realitas di lapangan sering kali tidak seindah janji. Sebagian besar masyarakat adat hanya terserap sebagai buruh kasar dengan upah rendah dan tanpa jaminan kerja yang memadai. Posisi strategis dan keuntungan ekonomi utama lebih banyak dinikmati oleh perusahaan dan tenaga kerja dari luar Papua.
Di sisi lain, hilangnya hutan adat menyebabkan masyarakat kehilangan sumber pangan lokal seperti sagu, umbi-umbian, dan hasil hutan lainnya. Ketergantungan pada satu sektor ekonomi membuat kehidupan masyarakat adat semakin rentan, terutama ketika harga komoditas turun atau perusahaan menghentikan operasinya.
Kritik terhadap Model Pembangunan
Penolakan masyarakat adat terhadap sawit sejatinya merupakan kritik terhadap paradigma pembangunan yang menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama, tanpa mempertimbangkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Model pembangunan semacam ini bertentangan dengan semangat Otonomi Khusus Papua yang menekankan perlindungan hak Orang Asli Papua serta pembangunan yang kontekstual dan berkeadilan.
Papua membutuhkan pendekatan pembangunan yang bertumpu pada karakter sosial dan ekologis wilayahnya. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adat, pengembangan ekonomi hijau, agroforestri, serta penguatan pangan lokal menawarkan alternatif pembangunan yang lebih berkelanjutan dan bermartabat.
Penolakan terhadap ekspansi sawit di Tanah Papua bukanlah penolakan terhadap kemajuan. Sebaliknya, penolakan ini merupakan seruan agar pembangunan dilakukan dengan cara yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan. Negara dan pemerintah daerah perlu menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan.
Jika Papua terus dipaksakan mengikuti model pembangunan ekstraktif, maka yang tersisa hanyalah kerusakan lingkungan, hilangnya identitas budaya, dan konflik sosial berkepanjangan. Namun, jika pembangunan dilakukan dengan menghormati hak masyarakat adat dan menjaga kelestarian alam, Papua justru dapat menjadi contoh nyata pembangunan berkelanjutan bagi Indonesia. Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama, Jakarta