Memahami Kepemimpinan Prabowo dan Peringatan dari Sejarah

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Sejarah selalu memberi peringatan kepada para pemimpin, terutama mereka yang memiliki kekuasaan besar, legitimasi politik kuat, dan dukungan institusional yang luas. Dalam banyak kasus, kegagalan tidak lahir dari niat buruk, melainkan dari ketidakmampuan membaca tanda-tanda zaman dan mengelola kekuatan yang saling berhadapan. Dalam konteks inilah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto perlu dibaca: bukan sekadar sebagai fenomena politik kontemporer, tetapi sebagai bagian dari pelajaran sejarah yang berulang.

Untuk memahami kepemimpinan Prabowo secara jernih, kita perlu menelusuri latar belakang dan pengalaman hidup yang membentuk pola sikap serta pola tindaknya. Dalam teori kepemimpinan, pola sikap dan pola tindak seseorang dibentuk oleh background dan pengalaman.  Karakter seorang pemimpin adalah hasil dialektika panjang antara keluarga, pendidikan, pengalaman profesional, dan tekanan sejarah. Prabowo bukan pengecualian.

Ia lahir dan tumbuh dalam keluarga intelektual, mapan, dan kosmopolit. Ayahnya, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, adalah ekonom besar Indonesia yang lama hidup di luar negeri dan berinteraksi dengan dunia akademik global. Pendidikan Prabowo di luar negeri serta pengalaman hidup dalam budaya Barat yang kritis dan terbuka membentuk watak lugas, berani bicara apa adanya, dan relatif tidak alergi terhadap perbedaan pendapat. Di sisi lain, ia juga memiliki empati sosial yang cukup kuat terhadap penderitaan rakyat kecil.

Fondasi terkuat yang membentuk pola tindak Prabowo adalah pengalaman militernya. Dunia militer melatih disiplin, kepatuhan pada garis komando, penghormatan kepada senior, serta orientasi pada kecepatan dan efektivitas.  Dalam logika militer, masalah harus diselesaikan cepat, tegas, dan tuntas, bukan melalui diskusi panjang yang bertele-tele.

Pola ini terlihat jelas dalam kepemimpinannya saat ini: dorongan kuat untuk bertindak segera dan ketidaksabaran terhadap birokrasi yang lamban. Karena itu, dalam banyak isu strategis, penanganan bencana, keamanan nasional, pangan, logistik, hingga proyek strategis, Prabowo tampak lebih percaya pada instrumen militer. Pendekatan ini sejalan dengan konsep Military Operations Other Than War (MOOTW) yang secara global memang dikenal efektif dalam situasi darurat dan krisis.

Namun, di sinilah paradoks kepemimpinan Prabowo muncul. Secara politik, ia membentuk kabinet super-gemuk, menampung hampir semua kekuatan dan kepentingan politik. Kabinet ini mencerminkan naluri rekonsiliatif sekaligus kalkulasi stabilitas. Tetapi secara operasional, Prabowo seolah membangun “birokrasi kedua” yang lebih efektif dan patuh: struktur militer. Akibatnya, tampak seakan ada dua birokrasi yang berjalan paralel. Pertama, birokrasi politik yang gemuk, penuh kompromi, dan lamban serta tidak produktif dan efektif. Kedua, birokrasi operasional yang cepat, disiplin, dan berbasis komando. Dalam jangka pendek, model ini terlihat efektif. Namun dalam jangka panjang, ia menyimpan risiko serius bagi birokrasi sipil dan tata kelola demokrasi.

Sejarah Nusantara memberi pelajaran penting. Keruntuhan Majapahit bukan semata akibat serangan eksternal, melainkan karena raja gagal mengelola dua dharma kekuasaan: Dharma Sanjaya, kekuatan lama, elite, dan militer, istana, serta Dharma Sailendra, kekuatan pembaruan, legitimasi sosial, dan aspirasi rakyat. Ketika dua dharma ini dibiarkan berbenturan tanpa pengelolaan yang adil dan visioner, kehancuran menjadi tak terelakkan.

Indonesia hari ini menunjukkan anomali yang patut diwaspadai. Kita menyaksikan dua “dharma kekinian”. Pertama, dharma kepentingan lama: oligarki ekonomi-politik, elite lama, para senior berbintang, serta institusi bersenjata, militer dan kepolisian, yang menikmati perluasan peran, anggaran, dan kewenangan. Kedua, dharma perubahan: kaum muda yang menyimpan harapan, akademisi dan intelektual berakal sehat, masyarakat sipil yang jenuh dengan ketidakberesan, serta birokrasi sipil yang merasa ruang kerjanya diinvasi.

Jika dua dharma ini tidak dikelola secara adil dan tegas, benturan hanya soal waktu. Lebih berbahaya lagi, meluasnya peran militer dan kepolisian ke wilayah sipil berpotensi menghidupkan kembali apa yang dulu keras dihujat publik: dwifungsi, kini dalam wajah dan legitimasi baru. Kepolisian yang sudah nyaman dengan kekuasaan sebelumnya tentu enggan terusik, sementara militer juga tengah menikmati kepercayaan dan peluang luar biasa. Keduanya, jika tidak dibatasi jelas, dapat menjadi ancaman bagi reformasi birokrasi sipil.

Inilah peringatan bagi Presiden Prabowo. Kepemimpinan yang kuat tidak cukup hanya dengan ketegasan dan kecepatan. Ia harus disertai kebijaksanaan dalam membagi peran, membatasi kewenangan, serta menegakkan garis demarkasi yang jelas antara sipil dan bersenjata. Jika tidak, sejarah Majapahit bisa berulang, bukan dalam bentuk runtuhnya negara, melainkan runtuhnya legitimasi dan warisan kepemimpinan.

Prabowo berada di persimpangan sejarah. Ia bisa dikenang sebagai pemimpin kuat yang berhasil menata ulang kekuasaan secara adil dan modern, atau sebaliknya, sebagai pemimpin kuat yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Segalanya bergantung pada keberaniannya mengelola dua dharma kekinian dan memilih berpihak pada masa depan.  Prabowo pasti memilih berpihak  pada masa depan dan untuk rakyat. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment