Mengapa Belanda Mendirikan Perguruan Tinggi Teknologi seperti ITB tetapi Tidak Mendirikan Perguruan Tinggi Koperasi?

Serial Tropikanisasi-Kooperatisasi  (3)

Oleh: Agus Pakpahan

Pendidikan kolonial Belanda di Indonesia didesain dengan sangat hati-hati untuk melayani kepentingan penjajah. Kebijakan ini menciptakan dikotomi yang menarik: di satu sisi, Belanda mendirikan institusi teknologi canggih seperti Technische Hoogeschool te Bandoeng (cikal bakal ITB), namun di sisi lain, mereka sama sekali tidak mengembangkan perguruan tinggi atau bahkan mengakui koperasi sebagai sebuah rumpun keilmuan. Esai ini akan meninjau fenomena ini secara komprehensif, dengan mengintegrasikan bukti kesuksesan Credit Union (CU) Keling Kumang sebagai representasi nyata dari paradigma keilmuan koperasi yang mandiri, serta menganalisis peluang strategis di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

1. Aspek Kepentingan Belanda sebagai Penjajah

Kebijakan pendidikan Belanda di Hindia Belanda didasarkan pada prinsip ethische politiek (politik etis), yang secara retorika bertujuan untuk "membalas budi" kepada rakyat jajahan. Namun, dalam praktiknya, politik etis lebih merupakan strategi untuk menciptakan tenaga kerja terampil level menengah yang dibutuhkan untuk mengelola dan mengeksploitasi sumber daya koloni:

· Kebutuhan Administratif dan Teknis: Pemerintah kolonial dan perusahaan-perusahaan Belanda membutuhkan insinyur, surveyor, dan teknisi untuk membangun infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan, irigasi) yang memudahkan pengangkutan hasil bumi seperti minyak, karet, dan teh ke pasar internasional. ITB didirikan untuk memenuhi kebutuhan teknis ini secara lokal, mengurangi ketergantungan pada lulusan dari Belanda.

· Menjaga Status Quo Ekonomi: Sistem ekonomi kolonial dirancang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya bagi motherland (negeri induk). Ekonomi digerakkan oleh perkebunan besar (plantations) yang sedang mengalami masa keemasan pada waktu itu dan pertambangan milik modal Belanda. Koperasi, dengan filosofinya yang berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, demokrasi, dan pemberdayaan ekonomi rakyat, merupakan ancaman langsung terhadap sistem monopoli ini. Koperasi akan membangun kemandirian ekonomi pribumi dan mengurangi ketergantungan pada tengkulak serta sistem kapitalis kolonial. Oleh karena itu, Belanda memiliki kepentingan strategis untuk tidak mempromosikan ideologi koperasi melalui pendidikan formal.

2. Perguruan Tinggi yang Didirikan Pemerintah Kolonial Belanda

Pendirian perguruan tinggi oleh Belanda bersifat sangat terbatas dan fungsional. Beberapa yang terpenting adalah:

· School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) - Batavia (1851): Sekolah untuk mendidik dokter pribumi, didirikan untuk mengatasi wabah penyakit yang dapat mengganggu produktivitas tenaga kerja.

· Rechtschool - Batavia (1909): Sekolah hukum untuk menghasilkan tenaga hukum level menengah yang membantu administrasi kolonial.

· Technische Hoogeschool te Bandung (THS) - Bandung (1920): Cikal bakal ITB, didirikan untuk memenuhi kebutuhan insinyur dalam bidang sipil, geodesi, dan teknik kimia untuk pembangunan infrastruktur dan industri.

· Geneeskundige Hoogeschool - Batavia (1927): Cikal bakal Fakultas Kedokteran UI, peningkatan dari STOVIA.

· Rechtshogeschool - Batavia (1924): Perguruan tinggi hukum lanjutan.

Pola yang terlihat jelas: semua institusi ini dirancang untuk menghasilkan pengabdi sistem kolonial, bukan untuk memicu pemikiran kritis atau pemberdayaan ekonomi mandiri rakyat.

3. Fungsi Ilmu Pengetahuan dan Ekonomi sebagai Alat Penjajahan

Ilmu pengetahuan dan ekonomi dalam konteks kolonial berfungsi sebagai alat hegemoni dan rasionalisasi penjajahan.

· Hegemoni melalui Teknologi: Dengan mendirikan sekolah teknik, Belanda menciptakan narasi bahwa kemajuan dan modernisasi hanya bisa dicapai melalui pengetahuan Barat. Ini memperkuat superioritas Belanda dan membuat sistem kolonial tampak sebagai sebuah "kehadiran yang diperlukan".

· Ekonomi sebagai Alat Eksploitasi: Ilmu ekonomi yang diajarkan adalah ekonomi kapitalis liberal yang melayani kepentingan pemodal. Sistem ini melegitimasi kepemilikan modal besar, perkebunan luas, dan eksploitasi tenaga kerja murah. Koperasi, yang bersifat kerakyatan dan kolektif, tidak memiliki tempat dalam paradigma ilmu ekonomi kolonial ini. Dengan tidak mengakuinya sebagai ilmu, Belanda secara implisit menyatakan bahwa koperasi bukanlah sebuah sistem ekonomi yang sah dan legitimate.

4. Siapa yang Membawa Ide Koperasi ke Indonesia?

Ide koperasi dibawa ke Indonesia bukan oleh pemerintah kolonial, melainkan oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional yang terinspirasi oleh gerakan di Barat dan mencari alternatif dari ekonomi kolonial yang menindas.

· R. Aria Wiriatmadja (1896) di Purwokerto mendirikan Hulp-en Spaarbank yang dianggap sebagai cikal bakal koperasi simpan pinjam, terinspirasi oleh model koperasi di Jerman.

· Boedi Oetomo (1908) dan Serikat Islam mempromosikan koperasi sebagai sarana untuk membangun kekuatan ekonomi pribumi.

· Mohammad Hatta, yang belajar di Belanda dan terpapar dengan gerakan koperasi serta sosialisme demokratik Eropa, menjadi Bapak Koperasi Indonesia. Pemikirannya yang mendalam tentang koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional menjadi fondasi ideologis yang kuat.

5. Mengapa Founding Fathers Melahirkan Pasal 33 UUD 1945?

Pasal 33 UUD 1945 adalah jawaban ideologis dan konstitusional terhadap warisan ekonomi kolonial yang eksploitatif:

· Perubahan Struktural: Pasal 33 dengan jelas menyatakan bahwa "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan". Frasa "usaha bersama" dan "asas kekeluargaan" adalah jiwa dari koperasi. Ini adalah mandat untuk mengubah perekonomian yang semula dikuasai kapital asing (Belanda) menjadi perekonomian yang berpihak pada rakyat banyak.

· Kedaulatan Ekonomi: Cabang-cabang produksi yang penting dikuasai oleh negara dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ini adalah penolakan terhadap sistem monopoli swasta asing. Koperasi dipandang sebagai institusi yang paling cocok untuk mewujudkan cita-cita pasal ini karena sifatnya yang demokratis, partisipatif, dan berorientasi pada anggota, bukan akumulasi kapital.

6. Koperasi sebagai Instrumen Strategis Mengatasi Detransformasi Ekonomi Nasional

Ekonomi Indonesia saat ini menghadapi tantangan detransformasi struktural, yaitu menurunnya kontribusi industri manufaktur dalam PDB nasional, guremisasi pertanian, pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi dengan penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, kesenjangan yang melebar, dan ketergantungan pada sumber daya alam serta beban defisit transaksi berjalan dalam Balance of Payments yang besar. Koperasi, dengan model seperti CU Keling Kumang, menawarkan solusi strategis:

· Mengatasi Konsentrasi Modal: Ekonomi Indonesia masih terkonsentrasi pada konglomerasi. CU Keling Kumang membuktikan bahwa model kolektif dapat menciptakan demokratisasi modal, di mana sumber daya finansial terkumpul dan didistribusikan untuk anggota secara berkeadilan.

· Memberdayakan Sektor Riil: Berbeda dengan lembaga keuangan konvensional yang cenderung konsumtif, pembiayaan CU Keling Kumang difokuskan pada sektor produktif—pertanian, peternakan, dan UMKM—sehingga langsung menyentuh sektor riil dan menciptakan multiplier effect yang besar.

· Membangun Kemandirian Ekonomi Daerah: Dengan model "dari anggota, oleh anggota, untuk anggota," koperasi seperti CU Keling Kumang memutus ketergantungan pada sistem keuangan pusat dan membangun sirkulasi ekonomi lokal yang sehat. CU Keling Kumang tidak meminjam uang sebagai utang pada perbankan dan tidak pula menggantungkan kegiatannya dari bantuan Pemerintah.

7. Potensi Eksponensial Model CU Keling Kumang

Fenomena perilaku eksponensial CU Keling Kumang dapat dilihat dari data berikut:

• Dari 12 anggota (1993) menjadi 230.000 anggota (2025); dari  ratusan ribu rupiah pada awal pendirian, menjadi Rp 2,23 triliun aset pada tahun 2025. Tentunya hal ini memberikan sinyal pola kuantum yang sangat penting untuk menjadi bahan pembelajaran bagi Indonesia.

• Pertumbuhan di atas apabila diolah menjadi angka pertumbuhan per tahun maka jumlah anggota naik 36% per tahun dan nilai aset meningkat 58% per tahun. Pertumbuhan seperti ini tidak normal menurut model bisnis biasa. Pertumbuhan CU Keling Kumang  adalah bukti gelombang kuantum rakyat: energi sosial yang lahir dari trust, kebersamaan, gotong royong, jejaring dan digitalisasi.  

Jika model CU Keling Kumang dapat direplikasi dan diadaptasi secara nasional, dampaknya dapat bergerak secara eksponensial:

· Skala dan Jaringan: Dengan lebih dari 17.000 pulau dimana di dalamnya lebih dari 500 Kabupaten/Kota dan ribuan komunitas adat, potensi pembentukan koperasi berbasis komunitas sangat besar. Jaringan koperasi yang terintegrasi dapat menciptakan sistem ekonomi nasional yang tangguh dan inklusif dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Dengan pertumbuhan seperti itu maka kondisi perekonomian bangsa tropika menemukan jalannya untuk tidak terus menerus sebagai bangsa marginal sebagaimana diperlihatkan sejarah ekonomi selama ini.

· Teknologi Digital: Integrasi teknologi fintech dan platform digital dapat mempercepat replikasi model ini. Bayangkan sebuah "ekosistem koperasi digital" yang menghubungkan koperasi di seluruh Indonesia, memfasilitasi transaksi, pembiayaan, dan pemasaran produk antar-koperasi.

· Green Economy: Koperasi dapat menjadi pionir ekonomi hijau—koperasi energi terbarukan, koperasi pengelolaan sampah yang menghasilkan nilai ekonomi, atau koperasi perhutanan sosial yang berkelanjutan.

8. Peran Kunci dan Momentum Kebijakan Presiden Prabowo Subianto

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menghadapi peluang sejarah (historical moment) untuk melakukan koreksi struktural, membalik arus dan gelombang sejarah, yang selama ini tertunda. Dengan visi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, membangun kekuatan rakyat, terdapat beberapa langkah strategis yang perlu diambil:

· Mendorong Dekolonisasi Keilmuan melalui Kebijakan Pendidikan: Pemerintah c.q., Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi untuk segera mengakui Ilmu Perkoperasian sebagai rumpun ilmu mandiri. Ini akan memicu revolusi kurikulum, penelitian, dan produksi pengetahuan berbasis kooperativisme sebagaimana diangkat dari pengalaman pergerakan organisasi ekonomi secara kuantum, antara lain, pengalaman 32 tahun CU Keling Kumang.

· Memperkuat Ekosistem dengan Regulasi dan Insentif: Kebijakan fiskal dan moneter dapat diarahkan untuk memperkuat koperasi. Misalnya, dengan memprioritaskan koperasi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, memberikan kemudahan perpajakan, serta mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit dengan syarat lunak kepada koperasi yang dikelola secara profesional. Pengembangan jejaring merupakan investasi penting Pemerintah sebagai bagian integral pengembangan dan penguatan ekosistem.

· Menjadikan Koperasi sebagai Pilar Ekonomi Hijau dan Digital: Momentum transisi menuju ekonomi hijau dan digital dapat dimanfaatkan dengan menjadikan koperasi sebagai ujung tombak. Misalnya, koperasi energi terbarukan berbasis komunitas atau koperasi platform digital yang dimiliki bersama oleh para pekerja kreatif dan UMKM. Presiden Prabowo dapat meluncurkan program nasional "Koperasi 4.0" yang mengintegrasikan nilai kooperativisme dengan teknologi modern sejalan dengan perkembangan dalam gelombang jangka panjang Kondratieff Ke-6.

· Mengangkat Model Sukses seperti CU Keling Kumang sebagai Prototipe Nasional: Pemerintah dapat secara resmi mempelajari dan mereplikasi prinsip-prinsip sukses CU Keling Kumang—yang dibangun di atas trust, kekeluargaan, kebersamaan, solidaritas, transparansi, dan pelayanan berintegritas—ke dalam kebijakan nasional. Pengakuan negara terhadap model ini akan menjadi legitimasi kuat bahwa kooperativisme adalah jalan Indonesia menuju ekonomi kuantum berkeadilan.

Kesimpulan

Pendirian ITB dan ketiadaan perguruan tinggi koperasi oleh Belanda adalah warisan politik penjajahan yang memisahkan ilmu teknik dari ilmu pemberdayaan rakyat. Credit Union Keling Kumang hadir sebagai bukti empiris yang tak terbantahkan bahwa koperasi adalah sebuah sistem ekonomi mandiri berbasis kooperativisme yang menghasilkan perilaku kuantum kolektif, serta merupakan instrumen strategis untuk mengatasi detransformasi ekonomi nasional.

Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, terbentang sebuah momentum bersejarah untuk mengakhiri warisan kolonial tersebut. Dengan political will yang kuat, pemerintah dapat mengakselerasi pengakuan Ilmu Perkoperasian sebagai rumpun mandiri, memperkuat ekosistemnya, dan menjadikan koperasi sebagai pilar utama ekonomi Indonesia yang berdaulat, adil, dan berkelanjutan. Replikasi model CU Keling Kumang secara nasional berpotensi menciptakan transformasi ekonomi eksponensial yang inklusif dan berkelanjutan. Langkah ini bukan hanya pemenuhan konstitusi, melainkan sebuah dekolonisasi epistemologi untuk mewujudkan cita-cita founding fathers yang terus terpendam oleh paradigma ekonomi kolonial.

Penulis: Prof. Agus Pakpahan, Ph.D (Rektor Universitas Koperasi Indonesia - Ikopin University).

Editor: Dr. Aam Bastaman (Ketua Senat Universitas Trilogi).

Aam BastamanComment