Dari Runtuhnya VOC ke Indonesia Hari Ini : Refleksi Akhir Tahun
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Refleksi dalam artikel ini berangkat dari konten sejarah kritis yang saya temukan di TikTok, akun @marsevenstudio709, tentang kehancuran Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) akibat korupsi dan dekadensi elite sebuah kisah lama yang terasa semakin relevan dengan kondisi Indonesia hari ini. Pada 31 Desember 1799, VOC resmi gulung tikar dengan meninggalkan utang sekitar 130 juta gulden. Sebuah akhir ironis bagi empire dagang terbesar pada masanya, yang menguasai perdagangan rempah-rempah dunia, memiliki armada militer kuat, dan memegang kewenangan layaknya sebuah negara. Namun kekuatan itu runtuh bukan oleh serangan musuh, melainkan oleh pembusukan internal: korupsi sistemik, gaya hidup pejabat yang mabuk kemewahan, serta pengkhianatan elite terhadap amanah kekuasaan.
VOC adalah contoh ekstrem bagaimana kekuasaan ekonomi dan politik yang terlalu terkonsentrasi akhirnya menghancurkan dirinya sendiri. Pejabat-pejabatnya hidup berlebihan, melakukan perdagangan gelap, menyalahgunakan jabatan, dan menggerogoti keuangan perusahaan dari dalam. Korupsi bukan lagi penyimpangan, melainkan budaya. Dalam literatur sejarah, VOC bahkan dikenal sebagai vergaan onder corruptie, membusuk karena korupsi. Ketika kepercayaan runtuh dan utang menumpuk, akhir VOC hanya soal waktu.
Pelajaran sejarah itu terasa mengganggu ketika ditarik ke konteks Indonesia hari ini. Kita tidak sedang menghadapi kolonialisme klasik, tetapi menghadapi oligarki modern—sering disebut sebagai “londo ireng”: aktor-aktor yang secara formal adalah anak bangsa, tetapi secara substantif menguasai dan mengendalikan aspek-aspek strategis negara demi kepentingan segelintir elite. Mereka mengendalikan economic power, memengaruhi authority power, menentukan decision maker power, bahkan menundukkan law power agar tunduk pada kepentingan mereka. Dalam situasi seperti ini, negara berisiko kehilangan fungsi dasarnya. Kebijakan publik tidak lagi berangkat dari kepentingan rakyat, melainkan dari kompromi elite. Regulasi dibuat pesanan. Hukum kehilangan taring ke atas dan justru tajam ke bawah.
Negara tampak berjalan normal, tetapi sesungguhnya sedang mengalami pembusukan struktural, persis seperti VOC di masa-masa akhir hidupnya. Fenomena yang paling mengkhawatirkan adalah pejabat yang mabuk kemewahan. Jabatan diperlakukan sebagai akses gaya hidup: simbol status, pamer kekayaan, dan legitimasi hedonisme. Budaya pamer, flexing, dan hidup berlebihan menjalar dari elite tua hingga elite muda, termasuk generasi milenial dan Gen Z yang seharusnya membawa semangat pembaruan. Banyak yang terkontaminasi, dikooptasi, dan akhirnya larut dalam sistem yang sama.
Korupsi hari ini tidak selalu tampil kasar. Ia kerap hadir rapi dan legal-formal: melalui konsesi, proyek strategis, skema bisnis-politik, dan kriminalisasi kritik. Mestinya para pejabat paham “to do what is right, you have to know what is true”. Negara perlahan direduksi menjadi alat akumulasi kekayaan oligarki, sementara rakyat hanya menjadi penonton.
Yang paling berbahaya dari situasi ini adalah elite yang tidak mau mendengar. Sejarah VOC menunjukkan, kehancuran datang ketika para penguasa lebih sibuk mempertahankan kenyamanan dan kemewahan daripada mendengar peringatan. Karena itu, jika Indonesia ingin survive, ingin maju, saatnya menumbuhkan budaya mendengar, learn to listen and listen to learn. Kekuasaan tanpa kesediaan mendengar kritik hanyalah percepatan menuju kemunduran, bahkan keruntuhan.
Jika pola ini dibiarkan, Indonesia menghadapi dua risiko besar. Pertama, collapse bertahap: kepercayaan publik runtuh, institusi kehilangan legitimasi, dan negara hanya hidup sebagai administrasi tanpa jiwa. Kedua, kehancuran berkotak-kotak: ketimpangan ekstrem, fragmentasi sosial, dan konflik laten yang mudah dimanipulasi. Dalam kondisi terburuk, Indonesia bisa berubah menjadi negeri dengan oligarki yang mengendalikan hampir seluruh aspek kehidupan warga.
Di tengah situasi ini, suara kaum idealis, intelektual, dan mereka yang masih memiliki akal sehat justru semakin terpinggirkan. Mereka dicap naif atau sekadar pemimpi. Teriakan peringatan mereka nyaris tak terdengar, seperti debu yang dihisap angin dan badai keserakahan. Padahal, sejarah membuktikan, suara-suara itulah alarm awal sebuah bangsa.
VOC runtuh bukan karena tidak ada peringatan, tetapi karena elite-nya menolak mendengar. Indonesia hari ini belum runtuh, tetapi sedang sakit, tanda-tandanya kian jelas. Pada titik inilah pertanyaan penting harus diajukan: Prabowo Subianto hadir sebagai solusi, atau justru menjadi bagian dari persoalan? Masyarakat mulai sedikit limbung karena semangat dan gagasan perubahan sejauh ini masih lebih sering terdengar di atas podium dan mikrofon, dalam panggung-panggung kehormatan, namun belum sepenuhnya menjelma menjadi tindakan yang membongkar akar masalah. Waktu tidak berpihak pada kompromi yang terlalu lama. Masa pemerintahan bukan ruang uji coba tanpa akhir.
Saatnya Prabowo benar-benar tampil, clean up the country—tanpa ewuh pakewuh, tanpa ragu menghadapi oligarki dan kepentingan sempit. Prinsip “menarik rambut dari atas tepung” tidak lagi memadai, karena kerusakan sudah terlalu dalam dan waktu tidak bisa diputar kembali. Keberanian politik menjadi kunci, bukan sekadar retorika persatuan.
Sejarah VOC memberi pelajaran keras bahwa kekuasaan yang ragu bertindak tegas justru mempercepat kehancuran sendi bernegara. Indonesia masih memiliki kesempatan, walau mungkin jendelanya sempit. Ayo, do it. In Prabowo we trust. Sejarah akan mencatat, bukan apa yang diucapkan, melainkan apa yang benar-benar dilakukan. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan