Kunjungan Ratu Maxima dan Momentum Mengembalikan Keuangan Inklusif ke Akar Kesejahteraan Keluarga
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Kunjungan Ratu Máxima Zorreguieta Cerruti ke Indonesia pada 12 November 2025 bukanlah kunjungan seremonial biasa. Dalam kapasitasnya sebagai Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Keuangan Inklusif bagi Pembangunan, kehadirannya membawa pesan strategis: keuangan inklusif harus ditempatkan sebagai instrumen pembangunan manusia dan kesejahteraan, bukan sekadar agenda teknokratis sektor keuangan.
Selama lebih dari satu dekade, keuangan inklusif dipromosikan PBB sebagai alat untuk menurunkan kemiskinan, memperkecil ketimpangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang adil. Indonesia kerap dipuji sebagai salah satu negara dengan kemajuan signifikan—baik dalam peningkatan kepemilikan rekening, digitalisasi sistem pembayaran, maupun perluasan layanan keuangan berbasis teknologi.
Namun pertanyaan mendasarnya tetap relevan: apakah inklusi keuangan tersebut telah benar-benar meningkatkan kesejahteraan keluarga, khususnya keluarga prasejahtera?Inklusi Keuangan yang terlalu finansial dan pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa keuangan inklusif masih sering direduksi menjadi persoalan akses dan transaksi. Ukuran keberhasilan lebih banyak dihitung dari jumlah rekening, volume pembayaran digital, atau penetrasi fintech, bukan dari perubahan nyata dalam kualitas hidup keluarga.
Akibatnya, tidak sedikit keluarga prasejahtera yang secara administratif telah “inklusif”, tetapi secara sosial-ekonomi tetap rapuh. Bahkan, sebagian justru terjerat utang konsumtif, termasuk dari pinjaman digital yang tidak disertai literasi dan pendampingan memadai. Dalam konteks ini, keuangan inklusif berisiko menciptakan ilusi kemajuan, sementara kemiskinan struktural tetap bertahan.
Di sinilah kunjungan Ratu Máxima seharusnya dimaknai sebagai momentum refleksi dan koreksi arah kebijakan, bukan sekadar penguatan agenda yang sudah berjalan. Ironisnya, Indonesia sesungguhnya memiliki pengalaman kuat dan panjang dalam membangun kesejahteraan berbasis keluarga. Melalui pragram Kependudukan dan KB, negara pernah mengembangkan konsep Pembangunan Keluarga Sejahtera yang berjenjang dari keluarga pra-sejahtera hingga keluarga sejahtera III Plus.
Pendekatan ini menempatkan keluarga sebagai unit utama pembangunan, dengan intervensi yang disesuaikan dengan tingkat kesejahteraannya. Dalam kerangka tersebut, dikembangkan UPPKA (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor) sebagai instrumen pemberdayaan ekonomi keluarga. UPPKA menggabungkan usaha produktif, pendampingan lapangan, dan basis kelompok, sehingga keuangan benar-benar menjadi sarana penguatan ketahanan keluarga.
Secara substansi, UPPKA adalah bentuk awal keuangan inklusif berbasis kesejahteraan, jauh sebelum istilah tersebut populer di forum global. Sayangnya, seiring perubahan orientasi pembangunan, pendekatan berbasis keluarga ini kian terpinggirkan dan digantikan oleh pendekatan yang lebih finansial dan sektoral.
Dalam konteks itulah, usulan Menteri Koordinator Perekonomian pada Sidang Kabinet 15 Desember 2025 patut diapresiasi dan didukung. Usulan untuk menambahkan dimensi “kesejahteraan” dalam Dewan Nasional Keuangan Inklusif, serta mengikutsertakan Mendukbangga/Kepala BKKBN sebagai anggota, merupakan langkah strategis untuk mengembalikan roh pembangunan dalam agenda keuangan inklusif nasional.
Perubahan ini menegaskan bahwa keuangan inklusif bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk mengangkat keluarga dari prasejahtera menuju mandiri. Dengan masuknya Kemendukbangga/ BKKBN, DNKI tidak lagi semata berbicara soal sistem dan pasar keuangan, tetapi juga tentang siapa yang harus dilindungi, diberdayakan, dan kapan keluarga siap mengakses pembiayaan.
Momentum ini seharusnya dimanfaatkan secara optimal oleh Mendukbangga/Kepala BKKBN untuk mengembalikan dan membangun kembali peran historis BKKBN dalam pembangunan kesejahteraan. BKKBN memiliki kekuatan yang tidak dimiliki lembaga lain, yakni data mikro keluarga dan peta keluarga sejahtera yang detail hingga tingkat desa. Data ini dapat menjadi basis utama intervensi pengentasan keluarga prasejahtera, sekaligus fondasi pengembangan fungsi ekonomi keluarga dalam kerangka keuangan inklusif.
Dengan pendekatan tersebut, Indonesia tidak hanya menjalankan agenda PBB, tetapi juga menawarkan model alternatif keuangan inklusif global—model yang berakar pada pembangunan keluarga, bertahap, dan berkelanjutan. Ini sejalan dengan mandat Ratu Máxima sebagai Utusan Khusus Sekjen PBB, sekaligus menjawab kritik global terhadap inklusi keuangan yang terlalu finansialis.
Pada akhirnya, makna terdalam dari kunjungan Ratu Máxima bukan terletak pada pujian atas capaian statistik, melainkan pada keberanian Indonesia untuk mengoreksi arah dan kembali ke fondasi pembangunan keluarga. Keuangan inklusif hanya akan bermakna jika benar-benar menghadirkan keluarga yang lebih sejahtera, tangguh, dan berdaya. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan