DNKI Kesejahteraan dan Ujian Kepemimpinan Mendukbangga/BKKBN

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Usulan perubahan Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) yang diajukan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, menjadi "Dewan Nasional Keuangan Inklusif Kesejahteraan" dalam Sidang Kabinet Paripurna 15 Desember patut diapresiasi. Penambahan Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN sebagai anggota menunjukkan kesadaran baru bahwa keuangan inklusif tidak cukup dimaknai sebagai perluasan akses layanan keuangan, melainkan harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan keluarga.

Namun justru karena strategis, momentum ini harus dijawab  secara tepat  secara konseptual. Di sinilah peran Mendukbangga/Kepala BKKBN diuji. Alih-alih melahirkan konsep baru yang terputus dari sejarah kebijakan, yang dibutuhkan adalah keberanian kembali pada fondasi pembangunan keluarga yang telah terbukti berhasil. Indonesia memiliki pengalaman panjang melalui Konsep Pembangunan Keluarga Sejahtera yang dijalankan secara bertahap dan berkelanjutan. Melalui pendekatan kependudukan dan keluarga yang konsisten, BKKBN berhasil menurunkan Total Fertility Rate (TFR) hingga 2,1—replacement level, capaian strategis yang mengantarkan Indonesia memasuki era bonus demografi.

Karena itu, masuknya Mendukbangga/Kepala BKKBN ke dalam DNKI Kesejahteraan harus dimaknai sebagai kesinambungan kebijakan, bukan panggung eksperimen baru. Terlalu sering pergantian nomenklatur dan jargon justru memutus kebijakan yang sebelumnya berjalan efektif. Sangat berbeda dengan sikap Presiden Prabowo, sebagai pemimpin bangsa beliau sangat jeli dan dengan sadar  bila di butuhkan beliau mengulangi dan atau melanjutkan berbagai kebijakan terdahulu yang beliau anggap kebijakan itu adalah untuk kemaslahatan rakyat.

Hakikat keuangan inklusif kesejahteraan bagi Pembangunan Keluarga sesungguhnya sederhana, keluarga yang telah ber-KB harus diberdayakan secara ekonomi agar mampu menjalankan fungsi ekonomi keluarga secara mandiri dan berkelanjutan. Keuangan inklusif adalah alat, bukan tujuan. Dalam konteks ini, UPPKA (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor) khususnya  keluarga Prasejahtera, hendaknya dibangun dan diberdayakan kembali,  semestinya menjadi tulang punggung operasional DNKI Kesejahteraan di bidang Pembangunan Keluarga.  Program ini secara nyata dirancang untuk mendampingi keluarga ber-KB dan keluarga prasejahtera melalui akses permodalan, pendampingan usaha, dan pengorganisasian kelompok produktif. Kritik perlu disampaikan secara terbuka bahwa keuangan inklusif tidak boleh direduksi menjadi sekadar pembukaan rekening, penyaluran kredit mikro, atau penetrasi aplikasi keuangan digital. Tanpa basis keluarga dan pendampingan, pendekatan ini berisiko menciptakan jebakan utang baru bagi kelompok rentan.

Di sinilah keunggulan struktural BKKBN harus dimaksimalkan. BKKBN memiliki data mikro keluarga dan peta keluarga hingga tingkat desa harusnya di perkuat kembali. Data inilah yang harus menjadi basis intervensi DNKI Kesejahteraan, agar kebijakan tepat sasaran dan berdampak nyata. Saran  perlu juga diutarakan agar Mendukbangga/Kepala BKKBN tidak  mengulangi pendekatan yang sumir, seperti di awal kepemimpinannya ketika meluncurkan berbagai lima quick wins yang tidak disertai konsep operasional yang jelas, sehingga cenderung rapuh dan minim dampak luas.

Pada fase itu, peran strategis Kementerian/BKKBN nyaris tidak terdengar dalam agenda pembangunan nasional. Momentum DNKI Kesejahteraan harus menjadi momentum kedua. Pilihan rasional diharapkan  bukan lagi menciptakan konsep baru, melainkan disarankan kembali pada konsep  dan strategi  Pembangunan Keluarga Sejahtera yang telah teruji, kemudian diperkuat sesuai konteks kekinian, terutama era digital. Digitalisasi harus memperkuat, bukan menggantikan kerja lapangan.

Pengalaman BKKBN menunjukkan bahwa mekanisme operasional(Mekop) di akar rumput tetap merupakan kunci. Peran volunteer, kader, petugas lapangan, serta sinergi dengan tokoh masyarakat/Toma, tokoh agama/Toga,  bidan dan dokter "keluarga" masih sangat relevan—tentu dengan pendekatan dan rebranding yang adaptif.

Tujuan DNKI Kesejahteraan juga harus diletakkan dalam kerangka misi global PBB. Keuangan inklusif merupakan instrumen penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), terutama penghapusan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Ukuran keberhasilannya adalah ketahanan finansial keluarga, bukan statistik administratif. Jika momentum ini dimanfaatkan dengan tepat, DNKI Kesejahteraan dapat memastikan bonus demografi tidak berhenti sebagai potensi, melainkan diterjemahkan menjadi keluarga yang berdaya, produktif, dan keluar dari kemiskinan.

Penguatan DNKI Kesejahteraan sejalan dengan komitmen Presiden Prabowo  membangun dari bawah—dari desa dan keluarga—demi pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Inilah roh sosialisme kerakyatan ala Prabowo,  pembangunan yang berpihak pada rakyat, berbasis keluarga, dan memastikan negara hadir nyata bagi mereka yang paling rentan. Kita patut mendukung berbagai langkah strategik Prabowo termasuk melibatkan program pembangunan keluarga dalam kebijakan keuangan inklusif kesejahteraan ini,  dengan kerja yang tidak kenal lelah. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment