Tanda-tanda Alam : Saatnya Dunia Berganti Generasi

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Dari meritokrasi menuju dinasti, pergantian generasi yang belum tuntas di Indonesia. Ada tanda-tanda zaman yang tidak bisa diabaikan. Dunia sedang bergeser. Alam seperti sedang mengirimkan pesan halus bahwa estafet kepemimpinan global tengah berpindah tangan. Dalam satu dekade terakhir-dan mencapai klimaks pada tahun-tahun belakangan ini-generasi muda, terutama milenial dan Gen Z, mulai tampil ke panggung utama kekuasaan. Fenomena ini tidak terjadi tiba-tiba. Ia adalah hasil dari perubahan struktur sosial, ekonomi, dan budaya dunia. Pola pikir digital, kepekaan terhadap isu keseharian rakyat, serta keberanian menantang sistem lama menjadikan generasi muda tampil dengan karakter politik yang lebih terbuka, realistis, dan humanis.

Gelombang baru kepemimpinan global

Dunia dikejutkan oleh munculnya dua tokoh muda yang menjadi simbol gelombang baru kepemimpinan itu. Pertama, Zohran Mamdani, Wali Kota New York berusia 34 tahun-Muslim pertama dari kelompok Democratic Socialists of America. Garis politiknya tegas dan berpihak kepada rakyat kecil. Salah satu programnya yang paling menonjol adalah rencana menyediakan transportasi publik gratis bagi warga New York, simbol keadilan sosial dan keberpihakan nyata kepada masyarakat pekerja. Kedua, Rob Jetten, tokoh muda yang baru saja terpilih menjadi Perdana Menteri Kerajaan Belanda di usia 38 tahun. Ia berasal dari partai D66, berhaluan sentris dan liberal secara sosial, serta dikenal karismatik dan progresif. Rob  memperjuangkan isu perumahan terjangkau dan energi hijau, dua agenda besar yang sangat relevan dengan masa depan generasi muda dan keberlanjutan bumi. Keduanya menjadi magnet perhatian dunia. Zohran dan Rob mewakili model kepemimpinan baru yang lahir dari meritokrasi, dari kemampuan, kerja keras, dan integritas-bukan dari garis darah, koneksi, atau kekuatan uang.

Regenerasi yang alamiah dan kultural.

Regenerasi kepemimpinan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, baik secara biologis, politik, maupun kultural. Alamiah, karena usia manusia memiliki batas; politik, karena perubahan generasi pemilih membawa kultur baru dalam demokrasi; dan kultural, karena dunia kini hidup dalam tatanan komunikasi digital yang menghubungkan pikiran dan gaya hidup lintas batas negara. Generasi muda memiliki bahasa, cara berpikir, dan sistem nilai yang berbeda dengan pendahulunya. Mereka tumbuh dalam dunia serba cepat, transparan, dan terkoneksi. Maka tidak mengherankan jika banyak dari mereka menolak kepemimpinan yang kaku, elitis, dan tidak responsif terhadap persoalan sehari-hari.

Indonesia dan pergulatan regenerasi yang tersendat.

Di Indonesia, proses masuknya kelompok milenial dan Gen Z ke panggung politik sebenarnya sudah dimulai. Dalam Pemilu 2024, tercatat lebih dari 40% anggota DPR RI berusia di bawah 45 tahun, dengan sejumlah nama bahkan di bawah usia 40 tahun. Beberapa kepala daerah juga datang dari generasi muda—antara lain Gibran Rakabuming Raka (38 tahun) yang kini menjabat Wakil Presiden, Bima Arya di Bogor yang memasuki masa akhir kepemimpinannya pada usia muda, serta sejumlah bupati di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi yang sudah naik ke panggung nasional. Namun, regenerasi di Indonesia tidak berlangsung secara alami seperti di negara-negara lain. Ia tidak tumbuh dari sistem meritokratis yang menilai kemampuan dan integritas, tetapi lebih sering merupakan hasil dari anomali sistem demokrasi yang kita jalankan. Demokrasi kita, sorry to say, masih sering menjadi “curse of democracy” — kutukan dari sistem yang semestinya memberi ruang bagi yang terbaik, tetapi justru melahirkan yang terkuat dalam jaringan uang dan dinasti. Banyak politisi muda di Indonesia muncul bukan karena otak, prestasi, atau keringat, melainkan karena trah, koneksi keluarga, atau kekuatan finansial. Demokrasi yang semestinya menjadi sarana melahirkan pemimpin substantif, kini berubah menjadi sistem transaksional yang pragmatis dan berorientasi pada elektabilitas semu.

Bahaya generasi yang lahir dari proses yang salah.

Inilah yang mengkhawatirkan. Regenerasi yang lahir dari proses politik yang salah akan membawa risiko besar bagi masa depan bangsa. Seperti pepatah digital yang tajam: “garbage in, garbage out.” Jika prosesnya rusak, hasilnya pun akan rusak. Kita mulai melihat gejala-gejala itu. Ada generasi muda yang cemerlang, berpendidikan, dan berprestasi, tetapi terjebak dalam budaya hedonistik, flexing kekuasaan, dan penyalahgunaan moralitas publik. Ada yang pintar, tetapi sombong dan jauh dari etika. Ada yang berhasil naik karena nama besar keluarganya, namun miskin pengalaman dan empati sosial. Berbeda dengan Zohran atau Rob Jetten yang lahir dari proses meritokrasi, banyak tokoh muda di Indonesia justru muncul dari jalan pintas politik-mereka belum menjadi pemimpin, tetapi sudah menjadi beban sejarah.

Refleksi budaya dan tanggung jawab bangsa.

Perubahan generasi seharusnya menjadi momentum pembaruan nilai. Kita memiliki kultur dan filosofi luhur: tidak boleh berbohong, mencuri, atau menipu. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya menjadi dasar etika dalam menilai kepemimpinan. Seperti kata pepatah bijak, “To do what is right, you have to know what is true.” Untuk melakukan yang benar, seseorang harus tahu apa yang betul. Maka regenerasi sejati tidak cukup hanya dengan usia muda atau popularitas digital,  harus disertai kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab moral. Negeri membutuhkan generasi baru yang tidak hanya muda, tetapi juga cerdas, bersih, dan berkarakter. Generasi yang memahami bahwa kekuasaan bukan alat untuk memamerkan kemewahan, melainkan amanah untuk memperbaiki nasib rakyat. Tanda-tanda alam sudah jelas, dunia bergerak menuju pergantian generasi. Tapi negeri ini masih berada di persimpangan jalan. Apakah  akan mengikuti arus regenerasi yang sehat, meritokratis, dan visioner-atau terus terjebak dalam politik dinasti dan transaksional yang hanya melahirkan kekecewaan baru? Sejarah menunggu jawabannya, dan waktu tidak akan menunggu terlalu lama. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D Prawiro2 Comments