Pak Harto Pahlawan Pembangunan dan Arsitek Kependudukan Indonesia

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Sebagai mantan Sekjend/Sestama BKKBN RI,  Konsultan Kependudukan Kerja Sama Selatan–Selatan dan Fasilitator Pelatihan Internasional Program Kependudukan dan KB, saya terpanggil untuk menulis artikel  ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pendirinya. Dalam semangat itu, keputusan pemerintah menetapkan Jenderal Besar H. Muhammad Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bersama sembilan tokoh dari berbagai daerah di Indonesia merupakan langkah bersejarah yang layak disyukuri. Sebagai pribadi yang pernah mengabdi dalam bidang kependudukan dan keluarga berencana, saya menyambut keputusan ini dengan penuh rasa haru dan bangga.

Bagi kami yang pernah bekerja dalam program nasional di bawah arahan nilai dan semangat pembangunan Orde Baru, sosok Pak Harto bukan hanya pemimpin, tetapi juga arsitek pembangunan manusia Indonesia. Pak Harto telah meninggalkan jejak panjang, dari perjuangan kemerdekaan, masa pemulihan nasional, hingga penciptaan fondasi pembangunan yang kokoh. Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan penghormatan tertinggi ini merupakan bentuk keadilan sejarah dan penghargaan bagi dedikasi yang tak ternilai.

Dari Pejuang Rakyat ke Pemimpin Negara. Soeharto lahir pada 8 Juni 1921 di Kemusuk, Yogyakarta. Sejak muda, beliau telah dikenal sebagai pribadi disiplin, sederhana, dan berjiwa kepemimpinan. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, Soeharto bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal TNI. Dalam masa revolusi fisik, ia menjadi salah satu komandan kunci dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan berdaulat. Peristiwa itu menjadi tonggak sejarah penting dalam diplomasi internasional. Serangan tersebut memperkuat posisi Indonesia di meja perundingan dengan Belanda dan dunia internasional. Di usia muda, Soeharto telah membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar prajurit, tetapi pemimpin lapangan yang mampu membaca situasi dengan visi strategis.

Menyelamatkan Bangsa dari Krisis dan Perpecahan. Pasca peristiwa 1965, bangsa Indonesia berada dalam titik nadir: inflasi mencapai 650%, pangan langka, ekonomi lumpuh, dan stabilitas politik terancam. Dalam situasi genting ini, Soeharto tampil bukan untuk berkuasa, melainkan menyelamatkan republik dari kehancuran. Dengan pendekatan yang tegas namun terukur, beliau membangun kembali kepercayaan rakyat dan dunia internasional terhadap Indonesia. Dalam waktu singkat, stabilitas politik dipulihkan, inflasi berhasil ditekan menjadi 19%, dan perekonomian nasional kembali bergerak.

Kebijakan yang beliau jalankan tidak hanya mengembalikan kepercayaan investor dan lembaga internasional, tetapi juga memberikan arah baru bagi pembangunan nasional yang lebih rasional dan terencana. Pak Harto memahami bahwa negara yang baru pulih dari krisis tidak bisa diserahkan pada mekanisme spontan pasar. Karena itu, ia memperkenalkan sistem perencanaan pembangunan nasional yang menyeluruh melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dua instrumen inilah yang menjadi “kompas pembangunan Indonesia” selama lebih dari tiga dekade.

GBHN dan Repelita: Arah Pembangunan yang Terukur.    

Kekuatan kepemimpinan Soeharto terletak pada kemampuannya membangun sistem dan arah yang berkesinambungan. Melalui GBHN dan Repelita, pembangunan nasional tidak dijalankan berdasarkan selera kekuasaan, tetapi melalui perencanaan jangka panjang yang melibatkan para ahli, akademisi, dan birokrasi teknis. Dalam lima Repelita (1969–1998), Indonesia berhasil melakukan transformasi besar-besaran.

Beberapa capaian makro dapat dilihat dengan jelas:                           

Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6–7% per tahun. Tingkat kemiskinan turun drastis dari 40% (1976) menjadi 11,3% (1996). Inflasi yang semula ratusan persen berhasil dijaga di bawah 10%. Cadangan devisa meningkat, dan nilai ekspor nonmigas mulai mendominasi perekonomian nasional. Repelita bukan sekadar dokumen teknokratis, melainkan bentuk visi bernegara — bahwa pembangunan adalah proses panjang yang memerlukan ketekunan dan arah yang konsisten. Dalam hal ini, Soeharto adalah arsitek pembangunan yang berorientasi hasil dan kemaslahatan rakyat.

Swasembada Pangan dan Transformasi Pedesaan.                    

Salah satu mahakarya kebijakan Pak Harto adalah keberhasilan Swasembada Pangan tahun 1984. Melalui kebijakan Bimas, Inmas, Kredit Usaha Tani, dan pembangunan irigasi besar-besaran, Indonesia yang sebelumnya menjadi pengimpor beras terbesar di Asia berhasil memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Pada tahun 1985, FAO menganugerahkan penghargaan kepada Presiden Soeharto di Roma atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada pangan. Keberhasilan ini bukan kebetulan. Soeharto memahami bahwa kemandirian pangan adalah pilar kedaulatan bangsa. Ia menata sistem pertanian dari hulu ke hilir: infrastruktur irigasi, penyediaan pupuk, pelatihan penyuluh, dan kelembagaan petani melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Kebijakan ini tidak hanya menyejahterakan petani, tetapi juga membentuk struktur sosial pedesaan yang produktif dan mandiri.

Pembangunan Pendidikan dan Kesehatan Rakyat.                        

Soeharto menyadari bahwa pembangunan fisik tidak akan berarti tanpa pembangunan manusia. Melalui program SD Inpres yang diluncurkan tahun 1973, pemerintah membangun lebih dari 61.000 sekolah dasar di seluruh Indonesia. Dalam dua dekade, angka melek huruf meningkat dari 57% (1971) menjadi lebih dari 90% (1995), dan rata-rata lama sekolah naik dari 4 tahun menjadi 7,3 tahun.

Di sektor kesehatan, beliau membangun sistem layanan kesehatan dasar berbasis masyarakat melalui Puskesmas dan Pustu di setiap kecamatan dan desa.Hasilnya nyata dan terukur: Angka kematian bayi menurun dari 145 menjadi 46 per 1.000 kelahiran hidup, Harapan hidup naik dari 45 menjadi 66 tahun, Akses imunisasi dasar meningkat hingga 85%. Pembangunan di era Soeharto menyentuh lapisan paling bawah masyarakat, menjadikan kesehatan dan pendidikan sebagai hak yang dapat diakses semua warga, bukan privilese kota besar.

Revolusi Kependudukan dan Program Keluarga Berencana.                     

Sebagai seseorang yang pernah menjadi bagian dari BKKBN dan program kependudukan nasional, saya menyaksikan secara langsung bagaimana Pak Harto menjadikan isu kependudukan sebagai pilar pembangunan nasional. Beliau memiliki pandangan strategis: bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tidak mungkin dicapai tanpa pengendalian jumlah dan peningkatan kualitas penduduk. Program Keluarga Berencana (KB) di masa beliau berkembang pesat dan menjadi contoh dunia.

 Data menunjukkan hasil yang luar biasa:

.Laju pertumbuhan penduduk turun dari 2,34% (1971) menjadi 1,49% (1995),

.Tingkat pemakaian kontrasepsi (CPR) meningkat dari 26% menjadi 57%,

.Total Fertility Rate (TFR) menurun dari 5,6 menjadi 2,8 anak per keluarga.

Atas keberhasilan ini, pada tahun 1989 PBB menganugerahkan UN Population Award kepada Presiden Soeharto dan BKKBN, pengakuan internasional bahwa Indonesia berhasil memadukan pembangunan ekonomi dengan pengendalian penduduk. Bahkan, Indonesia kemudian dijadikan model bagi banyak negara berkembang di Asia dan Afrika, yang mengadopsi pendekatan dan sistem pelatihan BKKBN. Keberhasilan ini menjadi landasan bagi terwujudnya bonus demografi, yang hingga kini menjadi modal penting menuju Indonesia Emas 2045.

Pembangunan yang Berakar di Desa. Filosofi pembangunan Pak Harto sangat sederhana: bangsa yang besar dibangun dari desa. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Pembangunan Sarana Air Bersih, Listrik Masuk Desa, dan Kredit Usaha Tani adalah contoh nyata bagaimana pembangunan dijalankan dari pinggiran. Dalam dua dekade, lebih dari 70% infrastruktur dasar di pedesaan, jalan, jembatan, sekolah, dan fasilitas kesehatan, dibangun melalui pola gotong royong yang dipandu negara. Kebijakan ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga memperkuat kohesi sosial bangsa. Desa tidak lagi menjadi simbol keterbelakangan, melainkan motor kemandirian ekonomi rakyat.

Menilai Sejarah dengan Keadilan dan Kebijaksanaan.                                    

Setiap era memiliki tantangan dan kekurangannya sendiri. Namun dalam menilai sosok besar seperti Pak Harto, kita perlu kearifan sejarah dan kejujuran nasional. Tidak ada pemerintahan yang sempurna, tetapi pencapaian dan pengabdian yang nyata harus diakui. Soeharto memimpin di masa yang penuh tekanan: ketika Perang Dingin membelah dunia, ekonomi global bergejolak, dan ideologi saling bertarung. Dalam kondisi demikian, beliau berhasil menjaga kedaulatan, stabilitas, dan arah pembangunan bangsa. Ia membuktikan bahwa kepemimpinan yang kuat, disiplin, dan berorientasi pada rakyat mampu membawa Indonesia dari keterpurukan menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Terima Kasih kepada Presiden Prabowo Subianto.                                

Atas nama pribadi dan sebagai bagian dari generasi yang pernah berjuang bersama keberhasilan program kependudukan nasional, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Presiden Prabowo Subianto. Keputusan beliau menobatkan Jenderal Besar H. Muhammad Soeharto sebagai Pahlawan Nasional merupakan tindakan berani dan berkeadilan. Langkah ini bukan hanya bentuk penghormatan kepada masa lalu, tetapi juga penguatan terhadap nilai-nilai pengabdian, kedisiplinan, dan kemandirian bangsa yang telah diwariskan oleh Pak Harto. Ini adalah momen penting untuk memperkuat semangat nasionalisme, sekaligus merekatkan kembali rasa kebangsaan yang sempat terbelah oleh persepsi sejarah yang tidak utuh.

Jejak Abadi Sang Pembangun Bangsa. Kini, ketika bangsa Indonesia menatap masa depan menuju Indonesia Emas 2045, kita tidak bisa memungkiri bahwa banyak fondasi penting berasal dari kebijakan dan visi pembangunan Pak Harto. Dari sawah yang hijau karena irigasi yang beliau bangun, sekolah Inpres yang mencerdaskan jutaan anak, Puskesmas yang melayani rakyat di desa, hingga keluarga kecil yang bahagia karena program KB, semuanya adalah jejak abadi seorang pemimpin besar. Sebagai bangsa yang beradab, kita wajib memberikan penghargaan yang layak kepada tokoh yang telah memberikan hidupnya bagi kemajuan Indonesia. Penetapan Jenderal Besar H. Muhammad Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah langkah moral dan historis yang patut dicatat sebagai bukti bahwa bangsa ini tidak melupakan jasa para pejuangnya. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment