Dari Bunga ke Generasi : Ketika Kemendukbangga/BKKBN Masih Sibuk Menyusun Wangi Logo

H Lalu Tjuck Sudarmadi

GEMARI.ID-JAKARTA. Satu tahun sudah Wihaji memimpin Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) - lembaga baru hasil transformasi BKKBN menjadi kementerian penuh di bawah pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming. Awalnya, publik menyambut hangat pembentukan kementerian ini. Dalam pidato pelantikan, Wihaji berjanji menghadirkan “kementerian paling bahagia”, lembaga yang membangun keluarga sebagai fondasi peradaban dan sumber daya manusia (SDM) unggul menuju Indonesia Emas 2045. Namun setelah satu tahun berjalan, publik mulai bertanya: apa yang benar-benar sudah berubah? Apakah “semangat baru” yang dijanjikan hanya berhenti pada pergantian logo dan jargon, atau sudah menetes nyata ke dalam kebijakan dan kehidupan keluarga Indonesia?

Quick Wins: Program Cepat, Hasil Lambat

Kementerian ini menetapkan lima program unggulan “Quick Wins” sebagai langkah awal. Lima program itu adalah:

1. Genting (Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting),

2. TAMASYA (Taman Asuh Sayang Anak),

3. GATI (Gerakan Ayah Teladan Indonesia),

4. SIDAYA (Lansia Berdaya), dan

5. Super Apps Keluarga Indonesia.

Lima inisiatif itu terdengar manis di atas kertas — bahkan nyaris puitis. Namun jika ditelisik, belum ada laporan capaian terukur yang bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan. Wihaji pernah menyebut target penurunan angka stunting ke 18% pada tahun 2025, turun dari 21,5% di tahun 2023. Namun hingga Oktober 2025, angka nasional masih berkisar di 20,3% (BPS dan Kemenkes, September 2025). Artinya, laju penurunan stunting melambat dibandingkan capaian 2019–2021, saat BKKBN masih di bawah format lembaga non-kementerian.

Begitu juga dengan aplikasi digital keluarga yang dijanjikan menjadi “Super Apps” berbasis data keluarga. Aplikasinya memang sudah diperkenalkan, tetapi belum sepenuhnya terintegrasi dengan Data Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Satu Data Indonesia. Padahal, di era digitalisasi pemerintahan, data kependudukan seharusnya menjadi fondasi semua kebijakan berbasis keluarga.

Rebranding yang Mendahului Reformasi.

Alih-alih menampilkan gebrakan substantif, yang paling banyak disorot publik justru adalah rebranding logo baru Kemendukbangga. Logo bergambar bunga, lebah, dan madu disebut melambangkan pelayanan, masyarakat, dan hasil pembangunan keluarga. Sebuah simbolisme yang indah — tetapi terlalu dini untuk dirayakan. Perubahan identitas belum tentu sebanding dengan perubahan struktur dan budaya kerja. Masyarakat tidak bisa hanya diberi “madu simbolik” jika kebijakan masih “bunga yang belum mekar”. Kritik ini muncul bukan untuk meniadakan upaya, melainkan mengingatkan bahwa kementerian ini lahir dari visi besar Presiden Prabowo: menjadikan pembangunan manusia dan keluarga sebagai sumbu utama pembangunan nasional.

Mengingat Kembali Jejak Pak Harto

Di sinilah kontras sejarah muncul. Pada masa Presiden Soeharto, pembangunan keluarga menjadi gerakan nasional yang masif, terstruktur, dan terukur. Program Keluarga Berencana (KB) tidak sekadar kampanye, melainkan gerakan sosial yang mengubah pola pikir masyarakat tentang jumlah anak, kesejahteraan, dan kualitas hidup. BKKBN kala itu menjadi simbol “success story Indonesia” di dunia internasional. Tahun 1980-an, angka fertilitas total (TFR) turun drastis dari 5,6 anak per wanita (1971) menjadi 2,9 anak (1991). Indonesia bahkan meraih penghargaan dari PBB (UNFPA) karena dianggap berhasil mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.

Lebih dari itu, gerakan keluarga sejahtera kala itu didukung penuh oleh struktur sosial: PKK, Dharma Wanita, Babinsa, hingga Camat, semua menjadi simpul pembangunan keluarga. Itulah yang disebut “gegap gempita pembangunan keluarga”: kerja lintas sektor yang nyata di lapangan, bukan sekadar acara simbolik. Kini, mestinya Wihaji bermodal kementerian penuh untuk menghidupkan kembali pola operasional desa seperti masa keemasan itu — tetapi dengan wajah baru sesuai kebijakan Presiden Prabowo membangun desa dan dari bawah untuk   pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Kemendukbangga bisa menghidupkan kembali peran strategis petugas lapangan terlatih: menjadi fasilitator rembuk desa, penggerak organisasi KB desa, dan agen pemberdayaan keluarga prasejahtera melalui gotong royong serta intervensi terpadu berbasis data mikro keluarga. Di desa-desa, tokoh masyarakat (Toma) dan tokoh agama (Toga) dapat kembali diberdayakan sebagai ujung tombak sosialisasi dan pendampingan keluarga, sejalan dengan nilai-nilai lokal.

Kementerian ini juga berpeluang menghidupkan kembali Posyandu Plus, dengan muatan baru: penurunan stunting, makanan bergizi, peningkatan pendapatan keluarga miskin, dan koperasi keluarga. Dengan begitu, Kemendukbangga turut membantu menggerakkan semangat Prabowo membangun desa dan dari bawah. Bahkan bisa dikaitkan dengan program perumahan layak huni melalui pendekatan “bedah rumah gotong royong” bagi keluarga miskin - lengkap dengan sanitasi, air bersih, dan penerangan listrik.

Sebab, tidak realistis berharap keluarga miskin mengakses kredit perumahan bank. Mereka perlu jembatan sosial - melalui lelang kepedulian, CSR perusahaan, dan partisipasi keluarga mampu. Dengan pendekatan gotong royong seperti itu, rehabilitasi rumah tidak layak huni bagi puluhan ribu keluarga miskin dapat dipercepat dan sekaligus menjadi bagian nyata dari pembangunan keluarga sejahtera di desa.

Prabowo Subianto berulang kali menegaskan bahwa pembangunan Indonesia harus berakar pada pembangunan manusia. Dalam berbagai pidato, ia menekankan pentingnya keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan ketahanan keluarga. Dengan menjadikan isu kependudukan dan keluarga sebagai kementerian tersendiri, Prabowo sebenarnya telah menempatkan pilar keluarga sebagai pusat ideologis pembangunan. Namun bila momentum ini tidak diterjemahkan menjadi kebijakan yang konkret dan berdampak luas, maka kementerian baru ini hanya akan menjadi “BKKBN versi kosmetik” — bukan lokomotif pembangunan keluarga seperti yang diimpikan Presiden.

Antara Harapan dan Kenyataan.

Tidak bisa dipungkiri, membangun keluarga Indonesia memang pekerjaan raksasa. Mengubah perilaku, budaya, dan kesadaran tidak bisa diselesaikan dengan satu tahun program quick-win. Namun masyarakat berhak berharap bahwa kementerian yang baru dibentuk ini menunjukkan arah yang lebih konkret dan transparan, bukan sekadar seremoni dan slogan bahagia. Wihaji mungkin punya niat baik untuk menjadikan kementeriannya “paling bahagia”. Tetapi, kebahagiaan tanpa indikator adalah euforia tanpa arah. Kebijakan keluarga harus berbicara lewat angka: berapa anak yang tumbuh sehat, berapa keluarga miskin yang keluar dari kerentanan, berapa lansia yang berdaya, dan berapa ayah yang kembali memegang peran aktif dalam pengasuhan.

Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga adalah eksperimen kelembagaan yang penting. Namun agar tidak berakhir sebagai kementerian simbolik, perlu lompatan lebih berani: dari “quick-win” menjadi “deep-impact”. Dari bunga logo menjadi buah hasil nyata. Semangat Prabowo yang ingin membangun bangsa kuat, mandiri, dan berkarakter harusnya menemukan ekspresinya di sini - di ranah keluarga, fondasi utama peradaban. Jika di masa Soeharto gerakan keluarga bisa menggetarkan desa-desa, mengapa di era digital dan AI, kita malah sibuk mempercantik logo? Sudah waktunya Kemendukbangga membuktikan bahwa mereka bukan sekedar mewarisi nama besar BKKBN, tetapi juga menyulut kembali gegap gempita pembangunan keluarga Indonesia - dengan data, disiplin, gotong royong, dan keberanian membangun dari desa. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan

Mulyono D PrawiroComment