Reformasi Kepolisian, Memperbaiki Bukan Menghancurkan
H Lalu Tjuck Sudarmadi
GEMARI.ID-JAKARTA. Seruan reformasi kepolisian kembali menggema. Publik menuntut perubahan besar pasca berbagai kasus penyimpangan yang mencoreng nama Polri, dari tragedi Sambo hingga isu bisnis gelap. Namun di tengah desakan itu, kita perlu berhati-hati: jangan sampai reformasi kepolisian kali ini kebablasan, seperti halnya reformasi politik 1998 yang kehilangan arah karena dibangun di atas kebencian. Dulu, reformasi 1998 dilakukan dengan semangat menghancurkan masa lalu. Karena kebencian mendalam terhadap Soeharto, sistem ketatanegaraan dirombak total, melahirkan demokrasi superliberal dan transaksional. Dua puluh tahun kemudian, hasilnya adalah negara yang rentan: kemiskinan, kesenjangan sosial, korupsi yang merajalela, dan hukum yang dikendalikan oligarki. Jangan sampai kesalahan itu terulang dalam konteks kepolisian hari ini.
Kritik Perlu, tapi Jangan Berdasar Kebencian
Tidak bisa dipungkiri, kepercayaan publik terhadap Polri memang menurun. Banyak kasus melibatkan oknum polisi yang menyalahgunakan kekuasaan. Namun menjadikan seluruh institusi sebagai “musuh negara” jelas berlebihan.
Polri tetap memegang fungsi vital: menjaga keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta melindungi masyarakat. Membenahi Polri bukan berarti menghancurkan struktur dan kewenangannya, melainkan memperbaiki tata kelola dan budaya organisasinya. Bahaya terbesar dari reformasi yang berangkat dari kebencian adalah kehilangan arah. Ia berubah menjadi dendam, bukan pembenahan. Dan sejarah membuktikan, reformasi berbasis kebencian selalu melahirkan ketimpangan baru.
Jangan Jadi Ajang Pembalasan Antar-Instansi
Pemisahan Polri dan TNI pasca-1999 memberi ruang luas bagi kepolisian. Fungsi keamanan dalam negeri berada di tangan Polri, sementara TNI fokus pada pertahanan negara. Namun, dominasi Polri di sektor birokrasi dan bisnis kemudian memunculkan rasa iri di tubuh militer. Kini, ketika Polri disorot tajam, sebagian kalangan aparat lain melihat peluang untuk “rebut panggung”. Karena itu, reformasi kepolisian tidak boleh berubah menjadi pembalasan institusional. Kita membutuhkan polisi yang bersih, profesional, dan modern — bukan polisi yang dilemahkan karena rivalitas lama.
Fungsi Polisi yang Tak Boleh Hilang
Polisi bukan sekadar penegak hukum, tapi juga penjaga hak-hak sipil warga negara. Di banyak negara, polisi justru menjadi simbol pelayanan publik. Di Inggris, polisi bekerja berdasarkan kepercayaan masyarakat (policing by consent). Di Jepang, polisi menjadi pendidik moral publik dan penjaga disiplin sosial. Di Amerika Serikat, mereka tunduk pada sistem pengawasan publik yang ketat. Indonesia seharusnya belajar dari sini: memperkuat akuntabilitas dan profesionalisme, bukan mengkerdilkan fungsi-fungsi dasarnya.
Masalah Utama: Birokrasi Sipil yang Lemah
Reformasi kepolisian juga tak bisa dipisahkan dari lemahnya sistem birokrasi sipil kita. Banyak jabatan publik diisi bukan karena kompetensi, tetapi karena loyalitas politik. Akibatnya, muncul anggapan bahwa aparat berseragam lebih disiplin dan mampu memimpin birokrasi. Padahal, ini adalah tanda kehancuran sistem meritokrasi. Ketika pejabat sipil tidak dipercaya, ruang birokrasi pun diambil alih oleh aparat keamanan — dan inilah yang kini terjadi.
Data yang Mengkhawatirkan
Fakta menunjukkan, peran aparat keamanan dalam birokrasi sipil terus meningkat. Dalam sidang Mahkamah Konstitusi, ahli Soleman B. Pontoh menyebut ada 4.351 anggota Polri aktif yang kini menduduki jabatan di lembaga sipil. Dari jumlah itu, 1.184 perwira dan 3.167 bintara/tamtama. Di sisi lain, laporan Imparsial (2023) mencatat 2.500 prajurit TNI aktif menjabat di posisi sipil, naik dari 1.592 orang pada 2019. Bahkan 132 di antaranya berada di jabatan yang tidak sesuai ketentuan Undang-Undang TNI. Data ini menandakan terjadinya “re-militerisasi birokrasi” secara perlahan. Bukan karena ada rencana politik, tetapi karena sistem sipil yang gagal membangun dirinya sendiri.
Dampak terhadap Hak Sipil (Civil Rights)
Masuknya aparat berseragam dalam birokrasi sipil berpotensi mengikis hak-hak sipil. Pemerintahan yang seharusnya netral dan akuntabel bisa berubah menjadi birokrasi berlogika komando. Kritik dianggap pembangkangan, dan kebijakan publik diwarnai semangat keamanan, bukan kesejahteraan. Dengan demikian, reformasi kepolisian tak bisa hanya soal restrukturisasi internal. Ia harus dipahami dalam konteks perlindungan civil rights — menjaga agar negara tetap berada di bawah kendali sipil, bukan kekuatan bersenjata.
Menata Ulang Tanpa Menghancurkan
Banyak usulan muncul: menjadikan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri, membentuk Kementerian Kepolisian, atau menata ulang hubungan dengan TNI. Semua ide itu patut dikaji, tetapi harus berpijak pada prinsip: reformasi bukan destruksi.
Tujuan akhirnya bukan melemahkan Polri, melainkan mengembalikan profesionalisme, memperkuat pengawasan, dan memastikan fungsi keamanan tetap dijalankan secara demokratis. Reformasi kepolisian memang keharusan, tetapi harus dilakukan dengan kebijaksanaan. Polri bukan musuh rakyat, melainkan bagian dari sistem negara yang harus dibenahi secara adil. Kita tidak ingin mengulang kesalahan 1998 — di mana kebencian menggantikan nalar, dan reformasi melahirkan kerusakan baru. Kali ini, bangsa ini harus belajar: membenahi tanpa menghancurkan, mengoreksi tanpa dendam. Sebab hanya dengan cara itu, kepolisian bisa kembali menjadi pelindung sejati rakyat dan penjaga supremasi sipil di negeri ini. Penulis adalah Pengamat Birokrasi dan Pemerintahan