Serbia, Mengejutkan: Dari Petugas Imigrasi Sampai Resepsionis

Aam Bastaman*

Mendarat di Belgrade Airport dari Istanbul, ada yang berbeda, petugas imigrasi mengucapkan, “Selamat datang di Serbia!”. Dalam Bahasa Inggris dengan logat khas Eropa Timur, agak kaku. Ucapan yang jarang terdengar disampaikan oleh petugas imigrasi di bandara internasional manapun.

Pemegang paspor Republik Indonesia tidak memerlukan visa untuk mengunjungi Serbia selama 30 hari. Sebelumnya negara ini adalah bagian utama dari negara Sosialis Yugoslavia, dengan ibukota di Beograd (kini Belgrade, ibukota Serbia) yang terpecah menjadi 7 negara merdeka: Serbia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Kosovo, Slovenia, Kroasia dan Macedonia. Hanya Serbia yang membebaskan visa untuk pemegang paspor Indonesia.

Sewaktu boarding di bandara utama Istanbul petugas maskapai Turkish Airlines bertanya “Do you have visa to Serbia?” Saya bilang warga Indonesia tidak memerlukan visa untuk memasuki negara Serbia. Ia kemudian mengkonfirmasi ke temannya, staf Turkish Airlines yang lebih senior. Temannya mengangguk mengiyakan.

Sebelum keluar dari Bandara saya menukarkan uang Euro saya dengan mata uang Serbia (Serbia bukan bagian dari Uni Eropa), memiliki mata uangnya sendiri. Proses penukaran mata uang sangat simple dan tanpa biaya apa-apa. Kemudian memesan taksi dari loket taksi yang ada di dalam Bandara. Saya tunjukkan alamat hotel, petugas loket bilang 3000 Dinar Serbia atau RSD (sekitar Rp. 450,000.-).

Republic Square, Belgrade.

Jarak Bandara Belgrade ke hotel sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 7 km. Namun sore itu jalanan agak macet. Bisa jadi karena jam pulang kerja, kata sopir, dalam Bahasa Inggris aksen Serbia. Ia bisa berbicara Bahasa Inggris sedikit. Jalanan macet rupanya tidak terlalu lama. Sopir mengambil jalan lain yang lebih lancer, agak memutar sedikit tapi bisa sampai ke hotel lebih cepat  di Kawasan  Jalan Ustanicka Belgrade. Masih termasuk Kawasan pusat kota.

Pengunjung dan Remaja Serbia.

Sebelum booking hotel biasanya saya membaca review hotel terutama di Traveloka yang menjadi langganan saya. Rupanya banyak tamu yang mengeluhkan pelayanan buruk seorang staf resepsionis di hotel saya ini. Waktu saya mengantri untuk check in sampai di mejanya, saya berpikir ini mungkin orangnya. Wanita muda yang agak ketus, sebenarnya wajahnya manis, sedang melayani tamu orang Eropa (entah dari negara mana, berbahasa Inggris) yang dating lebih duluan. Resepsionis itu sibuk melayani sendiri dengan muka kurang ramah, sedangkan resepsionis yang lain juga memiliki tamunya sendiri. Si tamu orang Eropa bertanya dalam Bahasa Inggris, seperti meminta sesuatu, tidak sabar. Resepsionis itu bilang “just wait”, tanpa memandang mukanya. Tamu itu menunggu dengan kesal. Akhirnya ia selesai dilayani, ia kemudian berjalan ke arah lift tanpa berkata apapun. Ekspresi mukanya Nampak tidak puas.

Belgrade, Serbia.

Kini giliran saya menghadapi resepsionis super sibuk yang kurang ramah tersebut. Tapi saya tidak terlalu terkejut lagi, karena sudah tahu. “Hallo!”, sapa saya “You have super busy day!”. “Good you have managed all the things very well!”. Ia menatap saya, tersenyum. Senyuman paling indah sedunia, setelah setelah istri saya, tentunya. Padahal tadi mukanya menyeramkan.

Ia mengangguk, “Yes, always busy. We have only few staff…”. Saya mengangguk-ngangguk. Ia melayani saya dengan baik. “Enjoy your stay”, sambal memberikan kartu kamar, mukanya menunjukkan kelegaan.

Rupanya resepsionis ini banyak masalah,  perlu diorangkan… mungkin tak banyak orang memberi perhatian. Tamu inginnya hanya dilayani. Saya memasuki lift, ke kamar saya. Inilah Belgrade, kota khas Eropa Timur. Kota yang sudah lama ingin saya kunjungi. (Bersambung).

 *Aam Bastaman. Ketua Senat Universitas Trilogi. Global traveler.

Aam Bastaman1 Comment