Media Sosial, Hoax dan Sleeper Effect
Aam Bastaman
Pesan negatif yang diterima oleh sekelompok target dari pengirim pesan yang tidak kredibel atau bahkan pengirim yang tidak bertanggung jawab umumnya akan diabaikan oleh penerima. Namun seiring dengan berjalannya waktu pesan negatif tersebut yang dikirim berulang-ulang, maka target bisa menunjukkan penerimaannya terhadap isi pesan tersebut, dan mengabaikan pengirim pesan yang tidak kredibel. Penerima pesan seolah bangun dari tidurnya setelah sekian lama mengabaikan isi pesan tersebut karena melihat pengirim yang tidak kredibel. Selanjutnya penerima dimungkinkan berubah sikap dan mulai mempercayai isi pesan tersebut, lupa (mengabaikan) terhadap pengirimnya yang tidak kredibel. Inilah yang disebut fenomena sleeper effect.
Fenomena sleeper effect dapat terlihat dari sejumlah pesan negatif yang banyak bertebaran di media sosial. Semula target penerima pesan mungkin masa bodoh atau mengabaikan pesan negatif tersebut yang dikirim oleh sumber yang tidak kredibel atau tidak jelas asal usulnya (tidak bisa dipercaya, seperti hoax). Namun lama kelamaan target bisa menerima isi pesan dengan mengabaikan ingatannya terhadap sumber pengirim pesan yang tidak kredibel. Penerima lama-lama lebih memberikan perhatian pada isi pesan negatif tersebut, dengan mengabaikan sumber pengirim pesan.
Sleeper effect merupakan sebuah fenomena psikologis saat pesan negatif atau pesan persuasi memiliki dampak penerimaan yang tertunda atau diabaikan karena faktor pengirim pesan yang dianggap tidak kredibel. Namun menjadi diterima seiring dengan berjalannya waktu, dengan mengabaikan sumber pengirim pesan. Sleeper effect (efek tidur) ini pertama kali diajukan oleh psikolog Amerika Serikat, Carl Hovland pada akhir tahun 1940-an. Sleeper Effect ini sering digunakan pada pesan periklanan, pesan politik dan pesan-pesan sosial, umumnya pesan-pesan yang bersifat persuasif.
Di masyarakat yang memiliki tingkat literasi digital yang rendah seperti Indonesia, sleeper effect ini menjadi dasar penjelasan atas indikasi mengapa banyak berita hoax dari sumber yang tidak jelas/tidak kredibel bisa mudah diterima sebagai suatu kebenaran. Masyarakat lama kelamaan hanya melihat pada isi pesan-pesan hoax ini, dan kemudian mengabaikan (melupakan) sumbernya yang tidak jelas. Sehingga fenomena sleefer effect ini bisa menjadi salah satu alasan berkembangnya hoax di Tanah air.
Oleh karena itu, seperti disampaikan oleh Guru Gembul, seorang podcaster di kanal Youtube bahwa menerima informasi dan mempercayai informasi tanpa cek dan cek ulang terlebih dulu merupakan standar kecerdasan tingkat rendah (paling rendah). Menerima dan mempercayai hoax begitu saja merupakan gejala masyarakat kurang cerdas dalam literasi digital. Sayangnya, berbagai survey menempatkan Indonesia sebagai masyarakat dengan tingkat literasi digital rendah.
Dengan demikian penting bagi kita untuk meningkatkan literasi digital supaya masyarakat lebih cerdas digital, lebih bisa memilih dan memilah informasi dengan baik. Jika tidak maka berita-berita hoax akan mudah diterima sebagai suatu kebenaran, sehingga bukan saja sebagai suatu kebodohan, lebih jauh bisa membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perlu intervensi lembaga-lembaga pendidikan dan sosial serta semua unsur masyarakat sebagai gerakan bersama untuk membuat masyarakat Indonesia memiliki literasi digital yang lebih baik.
Aam Bastaman. Ketua Senat Universitas Trilogi, Jakarta.