“Bunuh Bibit Korupsi di Keluarga…!!
Oleh : H. Nofrijal, MA
Penyuluh Keluarga Berencana Ahli Utama
Korupsi sebagai pelanggaran hukum adalah prilaku negatif-destruktif yang saling berdekatan, disamping korupsi adalah pelanggaran hukum berat, maka pelanggaran terhadap hukum lainnya, merupakan bagian dari perilaku yang memicu kepada disharmoni baik di keluarga maupun dalam masyarakat. Praktek korupsi dengan turunannya seperti gratifikasi, mark-up proyek, uang pelicin, pencucian uang dan bahkan inefisiensi (pemborosan) anggaran dan belanja negara serta lain-lain sejenis merupakan kejahatan besar “extra ordinary crime” yang memberi pengaruh kepada kehidupan keberadaan negara dan kesejahteraan masyarakat. Tidak satupun negara di dunia ini yang terbilang makmur bila pemerintah dan masyarakatnya melakukan korupsi. Korupsi akan memperlebar jarak antara kaya dan miskin, memunculkan ketidak percayaan “distrust” kepada penyelenggara negara dan kemerintahan.
Korupsi tidak hanya terjadi di birokrasi kepemerintahan, akan tetapi juga terjadi di sektor swasta dan masyarakat. Bila korupsi di pemerintahan lebih banyak dalam penerimaan gratifikasi dan uang pelicin dalam pelayanan publik, maka di sektor swasta korupsi terlaksa dalam pemberian gratifikasi, perekayasaan dokumen dan pengurangan volume barang pengadaan barang dan jasa, serta proporsi pencucian uang jauh lebih besar dibandingkan dengan birokrasi. Korupsi di masyarakat juga terbilang banyak dan variatif, masih ingat korupsi yang berlangsung dalam manajemen koperasi, gerakan dan aktifitas sumbangan sosial, bahkan tidak tertutup ada hawa korupsi dalam penyelenggaraan praktek ritual yang mengatasnamakan agama.
Bila keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat menanamkan praktik korupsi sekala kecil akan memberi pengaruh terhadap perilaku koruprif anggotanya dalam dunia kerja. Keluarga yang tidak punya pertahanan diri, ikut mendorong terjadinya korupsi besar para pejabat negara, tidak jarang istri atau suami dan anak-anak seorang pejabat negara ikut andil mempengaruhi mekarnya praktek korupsi di tengah tengah birokrasi dan masyarakat.
Covid-19 telah memperlihatkan bukti bahwa tingkat kepatuhan dan pelanggaran hukum bahkan praktek korupsi di tengah masyarakat terihat secara nyata, tidak hanya itu dalam kehidupan sosial normal, kita menyaksikan tingginya angka pelanggaran lalu lintas, budaya antri masyarakat yang sangat lemah, disiplin membayar kewajiban seperti pajak dan iuran berkala, pelanggaran terhadap peraturan pernikahan dan kependudukan, serta lainnya.
1/7 Pola Hidup Sederhana
Praktek korupsi dalam keluarga dipengaruhi oleh budaya hidup mewah “glamour”, peran istri atau suami yang berlebihan dalam mengatur pekerjaan kantor, pertarungan gensi dan nama oleh anak dan remaja, merasa terlindungi dengan aparat hukum serta terperangkap hutang di atas kemampuan. Untuk itu penerapan hidup sederhana adalah solusi utama dalam memberantas korupsi dan membangun budaya anti korupsi. Hidup sederhana bisa dilihat pada prilaku menabung keluarga, belanja yang terbatas pada kebutuhan dan tidak menampilkan kemewahan.
2/7 Hidup yang Berketuhanan
Keluarga menempatkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupannya, ini tidak hanya melaksanakan ibadah ritual rutin akan tetapi mengukuhkan bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih itu tidak sampai satu jengkal dari tenggorokan manusia, fungsi-fungsi ketuhanan juga memberi makna bahwa perbuatan melaksanakan suruhan dan menghentikan larangan adalah bagian dari prasyarat orang hidup aman dan baik di dunia-akhirat. Korupsi dan pelanggaran hukum adalah perbuatan “larangan” yang berakibat negatif terhadap kehidupan di dunia dan setelahnya.
Makna korupsi yang lain adalah merampas hak orang dan menista negara, dalam agama dapat dipastikan dengan ganjaran neraka yang kekal, hukuman bagi orang-orang yang mengambil hak orang lain dan menyengsarakan negara dipercayai tidak perlu menunggu tersedianya neraka, akan tetapi neraka dunia bisa datang lebih cepat. Hukuman korupsi tidak hanya penjara hukum dan negara, akan tetapi penjara measyarakat lebih berat dari penjara lembaga pemasyarakatan.
3/7 Orang Tua sebagai Role Model
Kunci sukses internasilisasi anti korupsi di dalam keluarga dalah kedua orang tua (ayah dan ibu). Ayah & Ibu memberikan contoh keseharian bagaimana menjadi orang yang berintegritas, tegas dalam penerapan hak dan kewajiban serta memberi contoh dalam melaksanakan aturan. Orang tua dapat menyampaikan kepada anak-anak kalau mereka sudah selesai membayar pajak, sudah selesai membayar donasi sosial dan mengajak anak-anaknya hadir dalam peristiwa kepatuhan hukum. Ketokohan dan keteladanan orang tua dalam menghambat tumbuhnya hedoisme, aji mumpung, serakah yang memicu korupsi dan pelanggan hukum, diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, kemandirian dan kehormatan keluarga sebagai bagian dari budaya anti korupsi dan pelanggaran hukum. Effect pukulan sosial terbesar dari tertangkapnya seorang penyelenggaran negara, politisi dan pemberi suap dalam peristiwa korupsi dan pelanggaran hukum adalah keluarga.
4/7 Pendidikan Integritas
Revolusi karakter anti korupsi dan anti pelanggaran hukum dilakukan dengan pendidikan informal yang menghadirkan modul-modul yang disusun berdasarkan cerita, sejarah dan kondisi sekarang. Anggota keluarga diberikan bahan cerita yang dapat menanamkan nilai-nilai moril yang dapat menjadi prilaku hidup anggota keluarga masa sekarang dan masa datang. Retensi (daya ingat) pelanggaran hukum dan kesaksian praktik korupsi dalam keluarga dan masyarakat, bisa muncul beberapa dekade berikutnya. Seorang anak yang menyaksikan orang tuanya melanggar lalu lintas dengan kendaraan yang digunakan akan bertahan dalam memori anak-anak dan memuncul praktek yang sama dalam waktu 10-20 tahun ke depan.
5/7 Mengelola Keuangan dan Asset Keluarga
Menyimpan barang-barang yang tidak bertuan, tidak dikenal dan bahkan ada kenaikan pendapatan yang tajam dalam keluarga bisa memicu praktik-praktik koruptif generasi baru. Pembangunan karakter kejujuran, keterbukaan dan bertanggung jawab bisa terancam bila orang tua berbelanja sesuatu jauh melampau pendapatan yang biasa. Dorongan korupsi bisa datang dari pasangan suami istri dan keinginan anggota keluarga yang membandingkan dirinya dengan orang lain yang hidupnya lebih sejahtera. Demikian juga sikap dan prilaku “doyan hutang”, berhutang tidak dilarang, tetapi hutang yang bisa melampau nominal pendapatan akan mendorong seseorang dan kelompok orang untuk melakukan tindakan koruptif dan melanggar etika hukum dan pergaulan yang baik.
6/7 Pendidikan di Meja Makan
Awal dari pratik korupsi dalah pratek kebohongan dan menghindar dari keterbukaan. Kebohongan telah menjadi racun kehidupan jangka panjang dan mencelakakan generasi masa depan. Meja makan dapat menceritakan pendidikan karakter anti korupsi dan anti pelanggaran hukum, karena orang tua hebat dapat memberi pencerahan dalam segala bidang. Meja makan adalah forum yang bisa menjadi pendidikan karater anti korupsi dan pelanggaran hukum kecil, sedang dan besar.
7/7 Fasilitas Negara & Keluarga
Memisahkan urusan negara dan perkantoran dengan urusan keluarga dalam pengelolaan asset pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khatab, pada saat khalifah berada dalam kamar kerja mematikan lampu fasilitas negara ketika ada anggota keluarga yang masuk dan menemui khalifah. Ini adalah pendidikan karakter yang agung, bila setiap penyelenggara negara dan kemerintahan, apakah dia birokrasi dan politisi, serta orang-orang yang bekerja atas nama korporasi swasta mempraktekan cara khalifah Umar bi Khatab, maka dapat dipastikan budaya anti korupsi, pelanggaran hukum dan mencampur adukan antara fasilitas negara dengan fasilitas pribadi dan keluarga bisa hilang.
Membudayakan hidup tanpa korupsi, tidak bisa hanya dengan menempuh jalan pintas dan menangkap dengan memenjarakan pelaku korupsi, akan tetapi menanamkan nilai-nilai perang terhadap korupsi dan nilai-nilai kepatuhan terhadap hukum dimulai dari pendidikan karaker keluarga, memerankan orang tua sebagai role model menjadi penentu tumbuhnya budaya anti korupsi dan anti pelanggaran hukum di Indonesia.
Barru, Sulawesi Selatan.
Tgl 04 Agustus 2021