Novel Bumi Manusia di Keith

keith.jpg

Mum memberi saya sebuah buku: “A great book!”, ia bilang. Rasanya saya belum pernah membacanya. Ditulis oleh seorang pengarang Indonesia, yang namanya sudah tidak asing lagi.

Buku tersebut sudah dalam terjemahan bahasa Inggris, penulisnya Pramudya Ananta Toer, yaitu: Earth of Mankind. Saya ingat dalam bahasa aslinya Bumi Manusia.

Era tahun 1980-an buku itu salah satu buku yang dilarang peredarannya di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru menganggap peredaran buku tersebut perlu dikendalikan karena dikhawatirkan mengandung propaganda komunisme.

Di Australia, negara yang juga turut membendung arus dan penyebaran komunisme buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dipublikasikan dan diperjuarbelikan secara terbuka serta bebas dibaca.

Jadilah, beberapa malam saya menikmati buku karangan penulis Indonesia yang sangat dikenal itu.

Salah satu hal yang sangat saya ketahui Mum dan Dad selalu membaca buku menjelang tidur. Kebiasaan yang saya lakukan juga di Tanah Air, termasuk saat tinggal di Keith ini.

Banyak orang yang saya ketahui mengagumi kemampuan Pramudya Ananta Toer menuangkan tulisannya dalam bentuk novel. Karena di Indonesia dilarang maka di Keith saya sangat leluasa menikmati salah satu karya terbaiknya.

Terlepas dari paham dan aliran politiknya, serta kontroversinya, karya Pramudya banyak menimbulkan rasa kagum berbagai kalangan pembacanya. Termasuk saya menikmati salah satu karya bukunya tersebut di Keith.

Earth of Mandkind bercerita saat era kolonial Belanda di Indonesia pada awal abad 20. Kisah cinta  seorang Minke pemuda Jawa dengan Annelies gadis Indo Belanda, yang memiliki bapak seorang Belanda dari Ibu seorang wanita pribumi, Nyai Ontosoroh, istri simpanan.

Kisah cinta yang mendapatkan banyak tantangan dari berbagai pihak.

Dengan berlatar belakang di kota Surabaya, novel ini tidak hanya bercerita tentang tantangan dan romantika percintaan, namun juga persoalan ketimpangan kelas, rasisme dan feodalisme.

Mum bilang menyukai buku itu. Banyak menyentuh sisi-sisi  kemanusiaan.

Saya tidak tahu apakah Mum memahami konteks budayanya. Tapi narasi novel ini serta latar belakang sejarahnya bisa jadi dipahami dengan baik.

Membaca buku-buku populer di Keith merupakan kebiasaan menjelang tidur, di tempat tidur.

(Tulisan ini salah bagian dari draft buku “Kenangan program AFS Intercultural, oleh Aam Bastaman).

Aam BastamanComment