'Rebranding' Tempe

Catatan Aam Bastaman

Nama tempe sebagai makanan khas Indonesia sangat populer di kalangan msyarakat kita, meskipun terkesan sebagai makanan yang ‘tidak berkelas’. Hal itu bisa kita intrepretasikan ucapan seorang pemimpin nasional yang mengatakan “Kita bukan bangsa tempe”. Nama tempe seperti idenik dengan rendah, lemah, miskin. Padahal tempe kini sudah diakui sebagai ‘superfood’, karena kaya nutrisi, pangan menyehatkan yang bisa mendukung kesehatan masyarakat.

tempe 2.jpg

Tempe

Tempe merupakan salah satu makanan khas Indonesia yang berasal dari Tanah Jawa. Tempe sudah dikenal sejak abad ke 19, seperti tertulis dalam serat ‘Centhini’, kumpulan tulisn Pakubuwono V yang menceritakan kondisi masyarakat Jawa abad ke 16, terbit tahun 1814. Tempe sudah diajukan sebagai warisan budaya tak benda nasional ke UNESCO, diharapkan bisa diterima dalam waktu yang tidak terlalu lama (Kompas, 6 Juli 2020).

Tempe diolah

Tempe diolah

Saat ini banyak usaha dilakukan untuk membuat tempe mendunia. Saya jadi teringat cerita seorang teman yang mendampingi istrinya kuliah di Okinawa Jepang. Untuk menambah penghasilan, karena beasiswa yang terbatas, Ia membuat Tempe dan menjualnya di berbagai kalangan di Okinawa, termasuk para tetangganya secara harian. Ternyata respons tetangganya cukup baik, sehingga teman saya itu terus berbisnis Tempe selama mendampingi istrinya yang dosen IPB kuliah S3 di Okinawa.

Kini Tempe sudah relatif dikenal di mancanegara, bukan hanya di negara-negara serumpun seperti Malaysia ataupun Brunei, tapi juga di Jepang, Cina, Korea, Amerika Serikat, Brazil, Meksiko, bahkan Polandia dan Hongaria. Salah seorang usahawan yang mempopulerkan Tempe di luar negeri adalah Rustiono yang memproduksi tempe di Kyoto Jepang, untuk pasar Jepang. Bukan hanya di Jepang ia juga mengembangkan usaha Tempe-nya ke Meksiko. Sebagai upaya untuk mengasosiasikan Tempe dengan Indonesia Rustiono tidak lupa menulis “Tempe hadiah Indonesia untuk dunia”. Selain digemari masyarakat umum karena rasa dan nilai gizinya, Tempe kini menjadi salah satu makanan favorit kaum vegetarian, sebagai pengganti daging.

tempe 5.jpg

Popularitas tempe sebagai ‘superfood’, mendorong kita untuk mengemas nama Tempe secara ‘apik’. Dalam pendekatan pemasaran kita harus melakukan ‘rebranding’ Tempe. Nama Tempe tidak lagi digunakan sebagai simbol keterbelakangan, atau kemiskinan, rendah, biasa saja, seperti dalam jargon ‘bangsa Tempe’. Kini Tempe harus diasosiasikan dengan ‘superfood’, kaya nutrisi, berkelas dan memiliki derajat tinggi sebagai makanan dengan kekhasan Indonesia. Kampanye Tempe sebagai ‘superfood’ perlu dilakukan secara massif. Disamping perlu kreatifitas pengolahan Tempe sehingga menjadi aneka jenis makanan yang enak dan menarik. Tidak ada salahnya juga Tempe dengan aneka olahannya dikampanyekan di restoran-restoran hotel berbintang.

Upaya ‘rebranding’ ini harus berhasil, karena pada saat masyarakat dunia mengingat Tempe, maka asosiasinya bukan hanya terhadap makanan ‘superfood’, namun juga akan mengingatkan pada Indonesia negara asal Tempe sebagai negara yang besar, bukan negara yang terbelakang.

Saatnya kini kita mengangkat Tempe sebagai makanan berkelas, ‘superfood’, makanan khas Indonesia yang super.

(Aam Bastaman Univ. Trilogi). Dosen dan Penulis

Foto: Istimewa (dari sumber open access)

Aam BastamanComment