Dimana Kebahagiaan, Kau Kucari
Para penulis dan pakar kebahagiaan umumnya menyimpulkan: Kebahagiaan bisa ditumbuhkan. Hanya saja kata para pakar ini, perlu kesadaran dan kemauan yang sungguh-sungguh ingin bahagia. Dengan kata lain perlu upaya plus beberapa sikap mental yang diperlukan: Terbuka, sikap ihlas, rasa syukur, dan lain-lain. Tidak semua orang mau memperjuangkan kebahagiaannya sendiri. Akhirnya tenggelam dalam ketidakbahagiaan.
Seorang teman, Ketua sebuah Badan Nasional, kebetulan dalam satu grup WA, mengutip suatu ungkapan mengenai kebahagiaan: “Happiness is letting go of what you think your life is supposed to look like”. Kebahagiaan adalah membebaskan apa yang anda pikirkan hidup anda harusnya seperti apa - Kira-kira begitu. Jalan hidup bisa berbeda dari yang diimpikan, membebaskan pikiran negatif atas ketidaktercapaian dengan legowo itulah salah satu hakekat kebahagiaan. Kebahagiaan itu tidak membandingkan hidup anda dengan orang lain.
Bahagia itu sederhana - itu banyak disampaikan oleh pakar kebahagiaan. Kita bisa menciptakannya sendiri. Disebutkan kemudian kuncinya tidak menolak dan mempertanyakan takdir. Menarik untuk didiskusikan mengapa negara-negara yang paling bahagia di dunia terletak di negara-negara Nordik (Finlandia, Swedia, Denmark, Norwegia, Eslandia), di kawasan Eropa Utara, padahal tidak kelihatan mereka memiliki nilai-nilai spiritualitas (terminologi spiritualitas di sini jarang digunakan) seperti yang umum diperlihatkan bangsa-bangsa Timur.
Ternyata mereka bukan tidak memiliki nilai-nilai spiritualitas, namun mereka lakukan dalam bentuk penerapan langsung dalam kehidupan mereka - hubungan, kepercayaan (trust) dan kejujuran. Mereka mempraktekkannya. Senior saya di Lembaga Produktifitas Nasional (LPN) Prof. Bomer Pasaribu yang pernah menjadi Duta Besar di Denmark selalu antusias saat diskusi kebahagiaan di negara-negara Nordik tersebut, terutama tiga negara-negara Skandinavia (Finlandia, Denmark, dan Norwegia).
Ia merasakan semangat Islam dalam konteks sosial hadir di negara-negara itu. Mereka masyarakat dengan nilai trust yang sangat tinggi, sangat percaya satu sama lain. Memiliki hubungan sosial yang sangat dekat, kesejahteraan relatif merata, sekalipun mereka bukan negara yang sangat kaya, optimisme atas hidup sangat positif, memiliki semangat kebersamaan. Mereka umumnya membayar pajak yang tinggi. Tapi warga sadar bahwa pajak pada akhirnya akan kembali untuk kesejahteraan mereka sendiri. Dengan pajak ada proses memperkecil gap, kaya-miskin.
Bagaimana mereka menciptakan kebahagiaan? Beberapa kesimpulan dapat dirumuskan secara garis besar, seperti apa yang dilakukan masyarakat Finlandia, yaitu memiliki prinsip hidup minimalis, simpel. Menggunakan produk secara berkelanjutan, serta hidup untuk berbuat baik. Lain lagi di Denmark, pemerintah dan masyarakatnya menciptakan atmosfir kehidupan yang nyaman, ataupun konsep kesenangan di Norwegia, hidup tanpa tekanan. Sekolah-sekolah dasar bukan tempat untuk berkompetisi, namun berkolaborasi. Konsep kebahagiaan lainnya adalah keseimbangan dalam hidup. Menghargai konsep “memiliki sedikit tapi waktu lebih banyak”. Mereka juga menjunjung tinggi kejujuran.
Secara selintas, pandangan dan sikap hidup masyarakat Skandinavia tersebut seperti konsepsi spiritualitas dalam masyarakat Timur, yang tidak terlalu menjunjung tinggi pengumpulan dan penguasaan materi, tapi lebih pada untuk mendapatkan kedamaian batin. Para pelancong dan pakar melihat di negara-negara Skandinavia prinsip-prinsip yang berkaitan erat dengan spiritual tersebut juga sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat setempat (dapat dilihat dari prinsip memiliki sedikit, tapi banyak waktu), sehingga mereka memiliki skor yang tinggi sebagai negara-negara yang paling berbahagia di dunia.
Indikator kebahagiaan yang ditentukan oleh World Happiness Report 2019 yang dilakukan Sustainable Development Solution Network untuk PBB mengacu pada index kebahagiaan melalui beberapa indikator penilaian antara lain: Pendapatan per kapita, dukungan sosial, usia harapan hidup, kebebasan menentukan pilihan hidup, kemurahan hati atau kedermawanan dan indeks persepsi korupsi. Penilaiannya jelas bukan pendapatan, kekayaan atau banyaknya materi yang dimiliki.
Negara-negara tersebut juga memiliki tingkat kriminalitas yang rendah, sehingga prof. Bomer mengatakan penjara-penjara di Finlandia dan Norwegia dan Denmark cenderung kosong. Juga tingkat kesehatan masyarakat relatif baik, mengurangi beban rumah sakit di sana, yang fasilitasnya sangat baik.
Di Asia yang sering diberitakan sebagai bangsa yang paling berbahagia di dunia adalah Bhutan, negara kecil di Asia Selatan dibawah pegunungan Himalaya. Berdasarkan indeks kebahagiaan nasional (Gross National Happiness) Bhutan 91 persen warga Bhutan menyatakan hidupnya bahagia. Namun berdasarkan World Happiness Report 2019 Bhutan tidak menempati urutan 10 besar ataupun 20 besar. Justru urutan jauh di bawah (96). Meskipun begitu patut diapresiasi bahwa Raja Bhutan menempatkan kebahagiaan sebagai ukuran keberhasilan negeri Bhutan, dengan mengusung ukuran Gross National Happiness bukan Gross National Product. Rakyat Bhutan merasakan kebahagiaan, yang mungkin berbeda dengan indikator yang dipakai World Happiness Report.
Masih berdasarkan World Happiness Report 2019 Indonesia menempati urutan ke 96 dari 156 negara. Namun juga di ASEAN Indonesia kalah bahagia dibandingkan Malaysia, (80), Philipina (69), Thailand (52) dan Singapura (34). Indonesia dianggap negara dengan urutan tengah-bawah dalam penilaian negara bahagia versi lembaga ini. Ini juga menjadi tanda tanya dan bahan diskusi. Bukankah kita memiliki nilai-nilai yang mendukung kebahagiaan?
Kebahagiaan menjadi urusan manusia hidup, yang dicari semua umat. Dalam tingkatan individual banyak cara dan upaya yang dianjurkan untuk hidup bahagia. Bisa saja tidak selalu mengacu kepada indikator World Happiness Report. Jika kita punya ukuran sendiri (seperti negara Bhutan), karena bahagia itu kata pakarnya sederhana. Seperti judul tulisan ini, dimana kebahagiaan, kau kucari.
(Aam Bastaman, Uni Trilogi). Penulis.