Dunia Investasi: Investasi Bodong
Oleh: Aam Bastaman
Dunia investasi kita dikejutkan kembali dengan adanya investasi bodong, MeMiles dari PT. Kam and Kam, sebuah perusahaan investasi bodong berbasis teknologi finansial tanpa ijin, karena niatnya memang untuk menipu. Ini bukan perkara baru, sering terjadi hampir setiap tahun, namun sepertinya banyak masyarakat yang masih saja tertipu, menimbulkan korban dan kerugian material korban yang tidak sedikit. Bahkan korbannya bukan hanya kalangan masyarakat bawah yang kurang berpendidikan, seringkali juga mereka yang berpendidikan tinggi bisa tertipu.
Temuan awal pihak yang berwajib lebih dari Rp 750 Milyar dana masyarakat terkumpul di satu rekening bank perusahaan investasi bodong tersebut. Jumlah tersebut bahkan bisa lebih besar lagi, mendekati angka Rp. 1 Trilyun, bahkan lebih. Bisa dibayangkan, bagaimana mudahnya perusahaan investasi bodong ini mengelabui masyarakat, yang berhasrat besar melipatgandakan jumlah uangnya. Sayangnya, di tempat yang salah.
Catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kerugian masyarakat dari investasi bodong selama sepuluh tahun terakhir ini sangat fantastis, sekisar Rp. 88 Trilyun, bahkan dari data lainnya diperkirakan hampir Rp. 105 Trilyun. Sama sekali bukan jumlah yang kecil.
Bagaimana skema investasi yang menipu ini? Dalam tatanan masyarakat yang ingin serba instant, termasuk kaya secara cepat, memang tawaran investasi bodong ini menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi dengan iming-iming yang menggiurkan. Padahal bentuk investasi bodong ini umumnya menggunakan skema Fonzi, seorang penipu keuangan ulung, nama lengkapnya Charles Fonzi, di Amerika Serikat, sekitar tahun 1920-an. Polanya seperti pengumpulan dana (ia sebut investasi) secara berantai, mereka yang menyetor dana mendapat bagian keuntungan yang sangat tinggi, apalagi dibandingkan dengan investasi konvensional yang legaal, namun bagian keuntungan ini diambil dari dana penyetor setelahnya, bukan dari hasil usaha produktif. Jenis investasi seperti ini biasanya tidak menggunakan produk (tidak menjual produk ril sebagai medium transaksi). Oleh karena itu penyetor mendapatkan keuntungan hanya sepanjang ada penyetor baru di bawahnya, atau mampu merekrut anggota baru. Kelangsungan dari pengembalian yang tinggi tersebut membutuhkan aliran yang terus meningkat dari uang yang didapat dari investor atau ‘member’ baru untuk menjaga skema ini terus berjalan.
Pada awal beroperasi para investor (member) biasanya diuntungkan, pendapatan secara kumulatif bisa jauh melebihi setoran, karena masih ada orang-orang di bawahnya yang menyetor uang. Jangan heran, kalau ada komentar dari mereka yang menjadi member duluan mengatakan: “saya tidak dirugikan, malah untung”. Seperti itu kira-kira komentarnya. Sampai rekrutmen anggota baru tersendat, mulailah perusahaan bodong ini mengalami kesulitan dalam melakukan pembayaran keuntungan, perusahaan mulai goyang, sampai rantai rekrutmen dan setoran putus, artinya tidak ada lagi orang yang berminat menjadi member, tidak ada lagi setoran baru. Karena sebagian uang sudah dinikmati oleh pemilik perusahaan bodong dan dibayarkan ke investor (member) terdahulu, kesulitan pembayaranpun tidak dapat dielakkan. Setelah itu seperti yang kita selalu jumpai akhir dari investasi bodong - kerugian para investor, terutama yang bergabung belakangan.
Pada prakteknya skema Fonzi juga bisa dipoles lebih canggih, sering pula diiming-imingi bungkusan agama, untuk meluluhkan hati para calon korban. Ada produk (seperti kebun korma, kebun karunia, bahkan kegiatan keagamaan seperti umroh sebagai “produk” bisa disalahgunakan), dengan iming-iming biaya atau investasi yang lebih murah. Padahal strategi murah dipakai sebagai daya tarik untuk penggalangan dana dalam jumlah besar, dengan mengandalkan kuantitas.
Belakangan investasi bodong memanfaatkan tokoh-tokoh selebriti untuk diajak bergabung sehingga bisa meyakinkan masyarakat. Jadi para selebriti berhati-hatilah, kepopuleran nama anda bisa disalahgunakan. Selain selebriti kadang juga memanfaatkan tokoh-tokoh atau pejabat atau pemuka masyarakat. Mereka pun bisa menjadi korban, setelah diiming-imingi pembayaran yang tinggi untuk meng-”endorse” (memberi kesaksian ataupun dukungan sampai mempromosikan).
Nampaknya investasi bodong terus berulang hampir setiap tahun.Memang akar masalahnya adalah gaya hidup masyarakat yag suka dengan sukses cepat, menjadi kaya dalam semalam, senang dan bermimpi secara instan. Ditambah lagi literasi finansial masyarakat yang masih rendah.
Sebaiknya otoritas keuangan ataupun otoritas lembaga investasi di negeri ini menjadikan momentum kejadian yang terus berulang dan memakan korban banyak dan besar ini untuk meningkatkan upaya literasi keuangan sehingga masyarakat menjadi lebih paham, mana investasi yang benar dan mana investasi yang bodong. Karena itulah, upaya peningkatan literasi masyarakat di sektor keuangan, menjadi sangat penting. Disamping itu peran media dalam memberikan literasi pada masyarakat terkait dengan sektor keuangan sangat strategis.
Mumpung masih hangat, Pasar modal dengan bentuk investasi yang legal dan sehat bisa digalakkan, sebagai medium untuk berinvestasi masyarakat, apakah dengan reksadana ataupuan saham, atau bahkan obligasi. Kuncinya tentu saja edukasi.
Tidak bisa kaya dalam semalam, kita tidak usah bermimpi yang irasional, mari kita gunakan akal sehat.
(Aam Bastaman) .