Refleksi: Mengapa Miskin Guru Besar?

Sebutan Profesor (Professor, dalam bahasa Inggris), berasal dari  bahasa Latin yang artinya "seseorang yang dikenal oleh publik berprofesi sebagai pakar"), sering  disingkat dengan “Prof.”  Di Indonesia  profesor merupakan seorang  dosen  dan/atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga-lembaga/institusi pendidikan perguruan tinggi (universitas, institut ataupun sekolah tinggi). Gelar Profesor (atau sering disebut juga Guru Besar) merupakan jabatan fungsional, bukan gelar akademis. Ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 1 Butir 3, menyebutkan bahwa profesor atau guru besar adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Total jumlah profesor di Indonesia masih sangat sedikit. Hanya sebanyak 5.463 dari total keseluruhan dosen yang berjumlah sekitar 300.000 orang, di sekitar 4.400 Pergruan Tinggi. Dari jumlah itu, menurut sumber dari Kemenristekdikti, yang terdaftar di Science and Technology Index (Sinta) milik Kemenristekdikti hanya sebanyak 4.299 orang. Jadi terdapat sebanyak 1.164 profesor yang tak terdaftar di Sinta.

Oleh karena Profesor bukan gelar, tapi  jabatan akademik bagi mereka yang berprofesi sebagai dosen, sehingga wajib melaksanakan tugas-tugas pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Diantaranya setelah penelitian melakukan publikasi karya ilmiah di jurnal-jurnal ilmiah internasional bereputasi, terindeks scopus, atau terindeks di lembaga  indeksasi publikasi ilmiah lainnya.

Jabatan profesor hanya berlaku ketika dosen yang bersangkutan berada di lingkungan akademik. Apabila dosen tersebut mengundurkan diri (atau diberhentikan) dari insttitusi pendidikan tinggi, maka tidak berhak lagi menyandang jabatan profesor. Jika seorang profesor sudah memasuki usia pensiun, maka jabatan profesornya otomatis hilang.

Sumber dari Kemenristekdikti seperti yang diliput media, menyampaikan bahwa Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia idealnya memiliki rasio profesor (guru besar) sebanyak 20 persen dari jumlah dosen yang ada. Namun hal tersebut belum dapat dipenuhi oleh hampir semua perguruan tinggi di Indonesia.

Selain sulitnya persyaratan untuk mengajukan jabatan profesor, antara lain minimal memiliki jurnal internasional  bereputasi, para dosen juga masih disibukkan dengan jam mengajar dan kegiatan administratif  dalam rangka pengembangan  institusi, sehingga persyaratan  untuk menjadi profesor masih sulit dipenuhi para dosen, selain proses pengurusan yang dirasakan para dosen tidak sederhana dan birokrasipun belum mendukung.

Profesor dulu di era sebelum tahun 1990-an identik dengan dosen yang sudah tua, botak plus pikun. Usia profesor umumnya diatas 60 tahunan. Kalau beruntung di atas 50 -an tahun. Tidak heran kalau banyak professor di era itu kurang produktif, karena sudah tidak enerjik lagi, bahkan diolok-olok sering pelupa. 

Saat ini terbuka bagi para dosen muda untuk menjadi profesor bahkan di usia 30-an. Beberapa profesor muda sudah dihasilkan UI, ITB, IPB dalam usia  rentang 34 sd 37 tahun.  Peluang sebenarnya terbuka lebar bagi dosen muda untuk menjadi professor, tidak usah menunggu  usia 60 tahunan, tapi bisa diupayakan di usia sedini mungkin, yaitu 30-an. Namun tidak mudah bagi umumnya dosen untuk menembus persyaratan profesor ini. Dosen muda yang bisa menembus persyaratan ini hanya dapat dihiutung dengan jari.  Umumnya masih mengggap sulit.

Melihat kenyataann ini, kelihatannya fenomena profesor yang tua, botak dan pikun akan kembali terjadi, seiring persyaratan profesor yang semakin ketat. Seorang rekan profesor mengatakan andai  persyaratan profesor sekarang diterapkan dulu, maka  diastikan ia tidak akan bisa menjadi profesor.

Data dari Lembaga layanan Pendidikan  Tinggi (LLDikti) Wilayah III sendiri sebagai barometer secara nasional,  melalui Kepala LLDikti III, menunjukkan total  profesor  di LLDikti  III sebanyak 229 orang, dari  total 316 Perguuan Tinggi yang dibawahinya. Sedangkan dalam 9 Tahun ke depan akan pensiun 100 profesor. Padahal profesor baru per  2019 dilingkungan LLdikti  III  hanya dihasilkan sebanyak 7 profesor. Jabatan profesor jauh lebih sedikit dan kurang proporsional  dibandingkan total  dosen.

Dengan kondisi seperti itu maka Indonesia dipastikan akan paceklik profesor untuk jangka waktu yang lama, kecuali  ada perubahan kebijakan yang mendukung percepatan proses profesor/guru besar dosen. Selama ini dirasakan para dosen, persyaratan menjadi profesor yang terlalu ketat, lamanya proses administratif untuk menyelesaikan pengajuan, serta kurang dukungan institusi dan pemerintah.

Dilema lain yang menjadi masalah klise adalah masalah kualitas dan produktifitas para profesor.  Apalagi banyak profesor dipakai di jabatan pada bidang dan tugas lain. Sehingga kurang waktu untuk kegiatan pendidikan dan penelitian. Banyaknya profesor yang menjadi pejabat baik dilingkungan organisasinya maupun di organisasi dan lembaga eksternal, menjadikan banyak profesor yang kurang produktif di ranah yang menjadi tanggungjawabnya. Walhasil,  produktivitas profesor di Indonesia masih kalah dari para profesor Malaysia. Menurut sumber Kemenristekdikti, diperkirakan seorang profesor dalam negeri hanya mengalokasikan 30 persen waktu akademiknya untuk melakukan penelitian.

Fakta lainnya, masih menurut sumber Kemenristekdikti pada tahun lalu sebanyak 2.748 profesor tidak lolos publikasi ilmiah sesuai syarat yang tercantum dalam Permenristekdikti Nomor 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.

Nampaknya jabatan profesor perlu dikembalikan ke tupoksinya (back to basic), kalau tidak, maka akan selamanya kita  miskin guru besar, apalagi guru besar produktif. Dengan kondisi seperti ini perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) kita dikhawatirkan akan semakin ketinggalan.

 Aam Bastaman: Dosen Pascasarjara Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Lembaga Produktifitas Nasional (LPN). Penulis dan Pelancong.

Aam Bastaman.jpg
Aam Bastaman2 Comments