Apakah Kita Bahagia?

World Happiness Report 2019 beberapa waktu yang lalu mengumumkan peringkat negara-negara berdasarkan indeks  kebahagiaan dengan melakukan survey terhadap 156 negara. Terdapat 10 negara bertengger di  peringkat negara-negara paling bahagia di dunia (delapan negara Eropa, peringkat pertama dipegang Finlandia dan dua negara di luar Eropa, tapi masih keturunan Eropa, yaitu Selandia Baru dan Kanada), dan juga daftar peringkat negara-negara paling tidak bahagia  di  dunia, atau dalam peringkat kebahagiaan ada  dalam daftar peringkat  paling bawah. 

    Bagaimana dengan Indonesia? Dari  laporan World Happiness Report 2019 tersebut Indonesia berada di posisi 92, sedikit  membaik dari tahun sebelumnya, yaitu di peringkat 96. Meskipun begitu, dua tahun lalu peringkat Indonesia jauh lebih baik, yaitu di posisi 81 negara paling bahagia di dunia.

    Sementara negara yang paling tidak bahagia adalah Sudan Selatan, yang menurut PBB sekitar 60 persen warganya menghadapi kehidupan yang sulit karena kelangkaan bahan pangan menyusul perang saudara berdarah yang telah merenggut nyawa ratusan ribu orang.

    Negara-negara lain yang dilanda konflik seperti Yaman, Afghanistan dan Republik Afrika Tengah juga berada di bagian terbawah tabel yang menunjukkan peringkat itu. Media merilis pula laporan pada Hari Kebahagiaan Internasional yang diperingati pada 20 Maret tahun ini, laporan itu memperingatkan bahwa kebahagiaan di dunia telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, didorong oleh penurunan berkelanjutan di India yang tahun ini menempati peringkat ke-140. Selain India penurunan  peringkat terbesar sejak 2005 adalah di Yaman, Suriah, Bostwana, Yunani dan Venezuela. Kelima negara tersebut memang sedang dilanda konflik hebat  di dalam negerinya, baik perang saudara maupun krisis ekonomi dan politik berkepanjangan. Sebenarya masih banyak negara-negara lainnya yang masuk dalam perangkap konflik yang mencekam yang mempengaruhi tingkat kebahagiaan negaranya, seperti  Irak, Korea Utara, Libya, Mesir, Lebanon, Palestina, Sudan dan negara-negara dengan tingkat ekonomi  yang kurang baik, atau dilanda krisis ekonomi.

    Apa arti peringkat 92 dari 156 negara yang disurvey bagi  Indonesia? Apakah ini bisa diartikan bahwa Indonesia negara yang tidak terlalu bahagia? Jika melihat kepada faktor-faktor penilaian, seharusnya Indonesia memiliki beberapa indikator yang baik. Seperti dukungan sosial, kebebasan memilih, kedermawanan, sikap religius (sayangnya sikap religius ini kurang diikuti oleh kesalehan sosial) yang dapat mendegradasi  sikap religius itu sendiri. Namun juga harus diakui kita memiliki beberapa  faktor yang kurang menguntungkan lainnya, sehingga mengurangi tingkat kebahagiaan. Seperti indikator ekonomi yang ditunjukkan oleh pendapatan per kapita yang relatif stagnan, masalah kesempatan kerja, kemiskinan  dan kurangnya pemerataan pendapatan. Disamping itu tingkat kejahatan dan  korupsi yang masih sangat tinggi turut menjadi faktor yang memperlemah indeks kebahagiaan negara.

    Bisa jadi suasana pemilu 2019 ini juga turut mempengaruhi kebahagiaan kita. Dengan adanya polarisasi dua kubu yang saling membenci dan bersaing untuk memenangkan jagoannya. Polarisasi ini juga dapat meningkatkan perasaan negatif, seperti sikap negatif, kekhawatiran, kesedihan, kebencian  dan amarah akibat kompetisi yang seringkali  menghalalkan segala cara dan mengorbankan banyak hal, seperti keutuhan negara. Pokoke menang, menjadi  jargon ambisius yang super egoistik.

     Kebahagiaan merupakan indeks yang komprehensif yang melibatkan banyak indikator. Namun salah satu indikator saja jeblok maka turun pula indeks kebahagiaan. Barangkali pemilu kali ini membikin kita  kurang bahagia,  padahal namanya sangat indah - pesta demoktrasi, namun sayangnya menjadi pesta  yang mencekam dan dipengaruhi suasana saling curiga dan penuh kebencian. Sehingga kurang layak disebut pesta lagi.

    Pembelajaran bagi kita semua, untuk kembali kesisi kesadaran kemanusiaan kita. Bukankah kita termasuk masyarakat religius? Nampaknya kita perlu membangun juga  sikap  dan perilaku kesalehan sosial, yang dirasa kurang. Seyogyanya kita “baik” dalam hubungan vertikal, maupun hubungan horizontal antar sesama anak bangsa, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan dan keyakinan, karena  semua bersaudara  dan tinggal dalam rumah bersama Indonesia. Percaya dan bersyukur kita masih  dikarunia sebuah negara yang memiliki potensi untuk maju. Sehingga bisa menatap masa depan dengan lebih positif. Tuhan maha pengasih, kalau kita berusaha tentu bisa. Mungkin dengan sikap seperti itu kita dapat menjadi lebih bahagia.

   

*Aam Bastaman: Dosen Senior Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional (LPN).

Aam Bastaman.jpg
Aam BastamanComment