Vokasi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Bonus Demogtrafi

Pendidikan Vokasi

     Vokasi merupakan tulang punggung pembangunan industri. Bentuk vokasi meliputi: SMK, Politeknik dan Balai Latihan Kerja (BLK). Ciri khas pembelajaran di program vokasi  bertumpu pada praktek dan pemagangan, bukan hanya pendidikan kelas berbasis teori. Oleh karena itu Pendidikan vokasi perlu kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri (dudi) dengan guru/dosen/instruktur yang memiliki pemahaman yang baik mengenai dunia praktek. Sarana dan prasarana praktek mutlak diperlukan dalam pembelajaran, disamping adanya akses yang baik  ke pemagangan kerja. Pendidikan vokasi yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan produktifitas dunia usaha dan dunia industri. Adanya keterkaitan antara kurikulum pendidikan vokasi dengan tantangan dan kebutuhan dunia industri sehingga menjadi nyambung diantara keduanya menjadi kunci keberhasilan pendidikan vokasi.

       Permasalahan

       Beberapa permasalahan fundamental lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi: (i) Kualitas lembaga yang ditinjau dari kualitas tenaga pendidik, kurikulum, sarana prasarana pendidikan, serta metode pembelajaran, (ii) Standar kompetensi lulusan,  (iii) Sistem akreditasi dan sertifikasi kompetensi, hingga (iv)  Kurangnya keterlibatan dan kemitraan dengan dunia industri.

    Kualitas tenaga pendidik (guru/dosen/instruktur) dalam lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi menjadi salah satu permasalahan yang perlu menjadi perhatian bersama guna mendorong terciptanya SDM yang produktif. Pendidikan vokasi belum selaras dengan dunia industri, sehingga terkesan berjalan sendiri tanpa menyelasarkan dengan dunia industri. Disamping itu (Kompas, 2 dan 9 November 2018) pendidikan vokasi banyak di pendidikan administratif tapi kurang fokus di sektor konstruksi, industri pengolahan dan kelistrikan.

    Tantangan lainnya adalah permasalahan kurikulum yang dirasakan kurang adaptasi, seringkali ketinggalan dan usang dalam waktu pendek. Dari perspektif kerjasama dengan dunia industri, juga diketahui Pendidikan vokasi di Indonesia kurang keterlibatan Dunia usaha dan Dunia industri.

Kurangnya Keterlibatan dunia industri juga berdampak pada terbatas akses pemagangan. Di lain pihak banyak industri yang tidak memiliki komitmen terhadap pendidikan vokasi. Hal ini pula yang menyebabkan kurang sinkron antara pendidikan dan kebutuhan dunia industri.

    Dari aspek tenaga pendidik juga didapat kualitas dan kuantitas guru yang memiliki pengalaman dan kemampuan praktek masih rendah, sehingga banyak guru yang tidak memiliki komptetensi integrasi teori kedalam praktek.     Fakta lain adalah angka pengangguran pada lulusan pendidikan vokasi (SMK) yang tertinggi, disusul lulusan SMA dan SMP (Pantjastuti, 2018).

    Kondisi ini sebenarnya telah direspon oleh pemerintah. Presiden Jokowi menginstruksikan perombakan pada pendidikan vokasi. Instruksi Presiden No. 9/2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam rangka  dan Daya Saing Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.

Reorientasi vokasi kearah kebutuhan  kerja. Dengan demikian penyusunan kurikulum harus diarahkan pada pemenuhan kebutuhan kerja dan diselaraskan dengan dinamika dunia industri, dengan kata lain harus ada reorientasi kurikulum dengan melibatkan dunia usaha dan industri. Proses pembukaan sekolah kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri di seluruh Indonesia harus dipermudah, terutama SMK yang berbasis teknologi yang masih kurang. Namun perlu moratorium pendidikan dan pelatihan yang kurang relevan dengan kebutuhan dunia industri.

       Profil pendidikan vokasi

1.      Sekolah Menengah Kejuruan (SMK):

      SMK diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tenaga terampil tingkatan operator.  Oleh karena itu perlu peningkatan kemampuan tenaga pendidik agar tidak hanya memahami teori, namun juga memberikan pengajaran praktek. Pada sisi kuantitas juga menjadi salah satu permasalahan. Sebagai contoh hanya 22% jumlah guru produktif (fokus di keahlian tertentu) di SMK.  Padahal untuk menyiapkan pendidikan tenaga kerja level operator (KKNI level 2) perlu dukungan guru yang memiliki kompetensi dalam praktek. Disamping itu pendidikan SMK kurang melakukan kemitraan dengan dunia industri, akibatnya banyak kurikulum SMK yang tidak selaras dengan kebutuhan dunia industri. Kemitraan dierlukan juga untuk program pemagangan siswa SMK di industri.

2.      Politeknik (POLTEK):

     Politeknik diharapkan dapat menyiapkan pendidikan tenaga kerja yang bersifat higher level thinking dan white collar job. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain kurangnya dosen industri untuk Politeknik. Persyaratan untuk menjadi dosen pada Undang-undang No.14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, pasal 46 ayat 2 – Dosen harus memenuhi kualifikasi minimal lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana. Hal ini menyulitkan upaya untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan dosen industri, terutama untuk progam politeknik, padahal banyak ahli ataupun praktisi dengan pengalaman yang banyak di industri namun hanya berpendidikan S1. Perlu percepatan penerapan konsep recognition of previous learning, untuk penyetaraan pengalaman kerja sebelumnya dengan tingkat S2.

 

3.      Balai Latihan Kerja (BLK):

     BLK diharapkan dapat menyiapkan pelatihan tenaga kerja bagi: (i) yang membutuhkan keterampilan jangka pendek (ii) upskilling dan reskilling untuk yang terkena dampak otomatisasi dan krisis ekonomi.

     Kurangnya instruktur di BLK yang memiliki kapasitas memadai disebabkan oleh banyaknya instruktur BLK yang pensiun, tetapi belum ada penerimaan baru (Pokja PLN, 2018). Kondisi tersebut menyebabkan BLK di Indonesia kekurangan instruktur yang berpengalaman. Saat ini,  sebanyak 53% instruktur berpendidikan S1, 12% lulusan D3 dan 23% hanya memiliki latar belakang pendidikan SMA. Disamping itu infrastruktur di banyak BLK yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi saat ini, sehingga terkesan menjadi usang.

 

      Diskusi

     Pendidikan vokasi dengan melihat permasalahan dan tantangannya perlu penataan yang lebih serius. Untuk itu peran pemerintah daerah penting, bukan hanya urusan pusat. Output pendidikan vokasi menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas sdm yang berdaya saing. Perlu dorongan untuk pemanfaatan BUMN sebagai mitra utama vokasi. Sehingga menjadi bagian dalam keterlibatan DUDI dalam proses pendidikan dan pelatihan Vokasi, termasuk pemagangan.

     Dari perspektif pengembangan guru SMK sebagai upaya untuk meningkatkan mutu guru, maka perlu segera dilaksanakan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) bagi guru produktif SMK. Pelaksanaan PKB dapat berupa kegiatan: magang industri untuk up date dan pendalaman kompetensi; In House Training (IHT) untuk memastikan penguasaan perkembangan pengetahuan yang mutakhir, Subject Specifik Pedagogy (SSP)  dalam penyusunan RPP, bahan ajar dan media yang  berwawasan kejuruan dengan Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK); dan menghubungkan antara pengembangan profesionalitas guru dengan mutu sekolah (Pantjastuti, 2018). Hal lain yang perlu dilakukan adalah dibukanya sistem coaching dan mentoring DUDI dan pemanfaatan silver expert. Sehingga  gagasan  industri yang di back up vocational school yang berkualitas dan memadai dapat menjadi kenyataan. Peningkatan pendidikan dan pelatihan industri manufaktur dan konstruksi dengan kerjasama lintas lembaga, termasuk DUDI dan lebih jauh perlu jejaring dan kerjasama internasional dalam rangka meningkatkan kualitas.

      Dalam rangka kerjasama internasional  untuk meningkatkan kualitas pendidikan vokasi maka Jerman dapat dijadikan sebagai Benchmark (Pokja LPN, 2018):

•      Terdapat 325,000 lembaga pendidikan vokasi , termasuk politeknik.

•      Diawasi pemerintah dari segi pencapaian mutu.

•      Memiliki hubungan yang erat dengan berbagai industri.

•      Vokasi juga digunakan untuk melatih penduduk pendatang memastikan kesesuaian ketrampilan mereka dengan kebutuhan industri.

•      Industri jerman digerakkan oleh tenaga terampil.

•      Pendidikan vokasi fokus pada praktek dan pemagangan di industri.

      Dengan melakukan benchmark, banyak hal bisa dilakukan untuk evaluasi dan untuk perbaikan kualias dengan mengacu kepada best practices. Untuk itu diperlukan komitmen semua pihak dalam proses-proses perbaikan demi peningkatan kualitas pendidikan vokasi.

 

      Kesimpulan

     Pendidikan vokasi, baik SMK, Politeknik maupun BLK Perlu pembenahan yang nyata. Perlu segera adanya penerapan dari berbagai kebijakan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan vokasi. Kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri perlu diwadahi dengan dukungan kebijakan yang kuat, supaya industri memiliki komitmen untuk menjadi mitra pendidikan vokasi untuk menjaga kecukupan dan kesesuaian lulusan vokasi dengan kebutuhan industri.

     BUMN dapat diarahkan menjadi mitra yang kuat bagi pendidikan vokasi, selain asosiasi dunia usaha nasional seperti KADIN. Mitra industri dapat menjadi “coach” dan “mentor”, serta pemberian akses untuk pemagangan.

     Pemutakhiran infrastruktur secara berkala pada program pendidikan vokasi supaya tidak ketinggalan dengan tantangan, dinamika dan teknologi terkini yang dibutuhkan dunia industri.

     Benchmark dengan negara yang kuat Pendidikan vokasinya perlu dilakukan, sekaligus membangun kerjasama antar tingkatan pemerintah dengan pemerintah, untuk memperkuat kuaitas pendidikan vokasi di Tanah Air.

      Pendidikan vokasi juga dapat didorong untuk memberikan output lulusan yang bergerak di sektor kewirausahaan, berusaha secara mandiri, tidak bergantung kepada pihak lain, malah dapat menciptakan lapangan kerja. Pilihan untuk mendorong menjadi wirausaha perlu dukungan penuh dan terprogram dengan baik, mengingat dampaknya yang sangat positif terhadap perkembangan sosial dan ekonomi bangsa.

 (Bagian makalah yang disampaikan oleh Aam Bastaman dalam rangka Ulang Tahun Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Tahun 2018)

*Aam Bastaman: Dosen Universitas Trilogi, Jakarta. Anggota Tim Kerja Lembaga Produktifitas Nasional.

Aam Bastaman[1].png
Aam BastamanComment