Jangan Malu Menjadi Sarjana pada Usia Senja
Kita selalu diingatkan pada moto belajar sepanjang hayat. Alasannya sederhana. Dimasa lalu, karena banyak anak-anak muda yang karena keadaan ekonomi orang tuanya terbatas, anggota keluarganya besar, anak nomor satu dan anak nomor duanya, terpaksa hanya sekolah sampai SMP lalu bekerja. Atau mungkin sampai SMA lalu bekerja, agar beban orang tua tidak terlalu berat karena masih harus membesarkan adik-adiknya dan mengirim adik-adik itu ke sekolah dasar dan SMP. Anak nomor satu atau anak nomor dua terpaksa berkorban seperti itu adalah kejadian biasa di masa lalu. Kejadian itu makin langka karena jumlah anak makin sedikit dan biaya untuk sekolah dasar, menengah pertama dan atas makin sedikit. Tetapi biaya untuk sekolah tinggi atau perguruan tinggi masih tinggi. Karena itu partisipasi perguruan tinggi di Indonesia relatif rendah sehingga banyak pemimpin di tingkat kabupaten atau tingkat kecamatan masih terbatas pada tematan SMA atau sederajat.
Keterbatasan pemimpin dengan latar belakang sarjana tersebut menjadi sangat langka pada tingkat desa sehingga gagasan yang selama empat tahun ini dikembangkan oleh Presiden Jokowi dengan mengirim dana pembangunan yang tidak sedikit langsung ke desa, sebayak Rp. 187 trilliun selama empat tahun, dan akan menjadi Rp. 250 trilliun pada tahun 2019, sedikit banyak terkendala karena sumber daya manusia di tingkat desa yang relative masih langka. Banyak desa yang tidak memiliki tenaga sarjana, apalagi sarjana untuk mengelola dana yang melimpah begitu besar langsung ke desa.
Disamping itu dibutuhkan tenaga yang mampu membuat perencanaan pembangunan infrastrukutur dan pemberdayaan sumber daya manusia mengembangkan pelaksanaan program yang sifatnya masif dan memakan dana besar. Suatu program yang hampir tidak ada hentinya silih berdatangan setiap tahun membanjiri daerah pedesaan yang memerlukan kecermatan dan kemampuan mengolah dana dengan baik agar pembanguan berjalan dengan baik dan cepat selesai karena tntutan masyarakat yang sangat luas.
Menanggapi kekurangan pengelola Dana Desa yang bermutu dewasa ini, Menteri Desa PDTT Eko Putro Sandjojo mengembangkan kerja sama dengan Universitas Terbuka memberi kesempatan kepada para Pendamping Desa, Punggawa Desa, Relawan Pembangunan Desa dan Masyarakat Desa yang peduli pada pembangunan desanya menjadi sarjana, biarpun terlambat pada usia senja. Mulai tanggal 11 – 25 Maret dibuka pendaftaran pada Universitas Terbuka secara on line (www.ut.ac.id) bekerja sama dengan Kementrian Desa PDTT (www.akademi.desa.kemendesa.go.id atau www.kemendesa.go.id) yang membuka kesempatan menjadi mahasiswa UT secara gratis pada semester pertama. Setelah selesai semester pertama dapat melanjutkan kuliah kepada UT dengan pembayaran ringan karena sifatnya kuliah terbuka dengan system on line.
Oleh karena itu, para kader pembangunan desa yang memiliki ijazah SMA atau sederajat dianjurkan mendaftarkan diri selama tanggal 11 – 25 Maret pada situs universitas Terbuka guna mengikuti kuliah sampai nantinya mendapatkan gelar sarjana, biarpun usia sudah lansia. Keyakinan itu bisa terjadi dan akan dikagumi oleh anak cucu serta memberi semangat untuk berpacu dengan kakek dan nenaknya agar mendapatkan gelar sarjana. Dengan gelar sarjana maka kita dan anak-anak kita akan menjadi sumber daya yang mandiri, mumpuni, cerdas dan mengangkat moral SDM yang brmutu sampai ke tingkat desa yang terpencil dan relatif belum maju. Insya Allah kita bisa, Amin.