Refleksi: Buah Lokal, Buah Impor dan Ketahanan Pangan Kita
Kita negara yang subur makmur ini ternyata masih sangat banyak mengimpor buah-buahan.Nilai impor buah dan sayuran mencapai sekitar Rp. 2.4 Trilyun. Banjir buah impor, mulai dari buah apel, anggur, jeruk, buah kiwi, pir, bahkan buah naga. Bukan hanya itu saja, kita juga kebanjiran buah tropis yang sebenarnya tersedia di tanah kita sendiri, seperti durian dari Thailand, pisang dari Philipina atau tadi buah naga dari Cina. Padahal buah lokal lebih sehat. Bisa ditanam dari halaman rumah sendiri, mengidupi perekonomian nasional. Mengurangi impor buah-buahan, bukankah bisa mengurangi beban devisa dan defisit neraca perdagangan?.
Harusnya kita mengatakan buah impor “selamat tinggal” (kecuali korma, karena alasan yang kuat). Bukan hanya urusan devisa negara atau defisit neraca perdagangan. Pengawet dan bahan berbahaya pada buah impor sangat merusak kesehatan. Pengawet pada buah impor diakui diperlukan sekali karena jaringan distribusi dan pengapalan yang lama. Perlu waktu berminggu-minggu untuk sampai di negara tujuan, maka tidak mengherankan kalau bahan-bahan pengawet yang merusak kesehatan itu menjadi solusinya. Bahaya kesehatan-pun mengancam masyarakat pengkonsumsi buah impor.
Mari kembali ke buah tropis, buah lokal, buah yang sebenarnya oke, sehat (meski ada isu pemakaian pestisida yang tinggi terhadap tanaman tertentu yang perlu dibenahi), murah dan bergizi. Siapa tidak kenal nenas, mangga, pisang, rambutan, manggis, alpukat, sawo, belimbing, jambu air, papaya atau bahkan durian? Mengkonsumsi buah lokal berarti turut membangun pertanian lokal, dengan menyuburkan tanaman buah lokal. Disamping itu, mengurangi kebergantungan pada buah impor, juga bisa memangkas mafia buah impor.
Kesehatan harus menjadi pertimbangan sebelum mengkonsumsi buah impor. Kandungan gizinya memang kita perlukan namun tidak selalu menyehatkan, kandungan kimia pengawetnya dapat membahayakan kesehatan. Tidak mengherankan gejala penyakit kanker di Tanah Air meningkat, penelitian menunjukkan peningkatan penyakit kanker, salah satunya diakibatkan kandungan pengawet dan bahan-bahan kimia (zat karsinogen) yang besar dalam produk-produk makanan kita, diantaranya buah impor.
Teman saya yang orang pertanian bahkan tak habis pikir kenapa kita masih kekuarangan buah-buahan, sampai harus mengimpor. Selain impor buah-buahan sub-tropis yang hanya tumbuh di negara-negara empat musim, seperti Cina, Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, dengan resiko kandungan kimia pengawet. Tapi buah-buahan yang dapat kita tanam sendiri mengapa kurang? Sampai harus impor juga, apa karena rasanya tidak sesuai dengan selera kita, karena ada produk sejenis dari buah impor yang memiliki rasa lebih baik? Ternyata bukan hanya itu.
Terlalu banyak PR kita di bidang pangan. Banyak analis mengatakan pertanian kita kurang produktif. Tanah pertanian kita terlalu kecil-kecil dan para petani kita tidak mendapatkan banyak keuntungan dari tanah kita yang subur, karena lahan sempit. Lahan yang luas hanya dimiliki segelintir perusahaan besar, atau orang-orang kaya pemilik modal.
Nampaknya strategi pertanian kita khususnya buah lokal perlu dipikirkan kembali. Para ahli kita sebenarnya banyak dan sangat mumpuni, namun kenapa kita tidak bisa juga mandiri?
Banyak kalangan kemudian menuding faktor politik dagang dan “politik beneran”, artinya kebijakan buah impor ataupun pengembangan buah lokal memang menjadi komoditas politik, adanya mafia ataupun kartel untuk kepentingan keuntungan semata, apa itu? Rupanya tidak jauh-jauh ada kepentingan uang, termasuk pendanaan untuk kepentingan tertentu, ditambah lagi tekanan politik internasional, karena alasan perdagangn bebas. Kasihan petani kita, kasihan kosumen kita.
Para politisi harusnya mampu mengkampanyekan perubahan ini, mendukung para petani dan pejuang pertanian kita. Namun urusan buah tropis ini seperti bukan isu seksi untuk difokuskan. Malah menjadi lahan permainan para mafia pangan. Sayang seribu sayang.
Aam Bastaman. Senior Editor Gemari.id
Photo: Istimewa